Kisah Angkie Yudistia, Tuli yang Jadi Stafsus Presiden

Featured Image

Perjalanan Angkie Yudistia, Perempuan Disabilitas Pertama di Istana Negara

Angkie Yudistia adalah sosok yang mungkin tidak terlihat seperti orang biasa. Meski ia tampil ceria dan penuh semangat, ternyata ia adalah seorang penyandang disabilitas tuli. Pada tanggal 21 November 2019, ia dilantik sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden dan Juru Bicara Bidang Sosial pada masa kepemimpinan Joko Widodo. Ini membuatnya menjadi perempuan disabilitas pertama yang berada di Istana Negara.

Di balik keberhasilannya, Angkie menghadapi banyak tantangan. Dari kecil, ia sering mendengar kata-kata meremehkan karena keterbatasannya. “Jadi, stigma yang didapat adalah, ngapain sih kamu mimpi tinggi-tinggi? Toh pada akhirnya kamu enggak bisa apa-apa,” ujarnya. Ia mengaku bahwa setiap hari selalu mengalami bullying.

Namun, keluarganya memiliki visi untuk menjadikannya perempuan mandiri. Sejak kecil, Angkie gemar membaca buku di perpustakaan. Orangtuanya juga mewajibkannya membaca koran setiap hari agar memiliki kemampuan literasi. Menurut Angkie, pendidikan adalah kunci untuk membuktikan bahwa ucapan orang-orang itu salah.

Menjadi Perempuan Mandiri

Menurut Angkie, menjadi seorang perempuan yang independen bukan sekadar bisa cuci piring atau membersihkan rumah. Itu adalah kewajiban setiap individu. Yang lebih penting adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri tanpa menyalahkan orang lain. Misalnya, jika terjadi konflik dengan teman, ia percaya bahwa solusi harus dicari bersama, bukan dengan saling menyalahkan.

Pada masa kecilnya, Angkie dianjurkan untuk belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), namun saat itu jumlah SLB hanya satu atau dua per provinsi. Akhirnya, ia memilih Sekolah Inklusi, yaitu sekolah yang menerima semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), dalam satu lingkungan belajar. Di sana, ia terbiasa berteman dengan anak-anak pada umumnya.

Jika ia tidak mendengar perkataan murid lain, Angkie jujur berkata kepada mereka bahwa ia tidak bisa mendengar. Namun, jika ada yang mengasihaninya, ia tidak menganggap mereka sebagai teman.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Angkie menyebut keluarga sebagai lingkungan tumbuh kembang yang penting. Ia bercerita bahwa tidak semua anggota keluarganya memahami kondisinya. Misalnya, ada yang tetap berbicara keras meskipun tahu ia tidak bisa mendengar. Ia sadar bahwa ia tidak bisa memilih keluarga mana yang akan ia lahirkan, tapi ia bisa melakukan hal-hal tertentu.

“Bagaimana kita berdamai dengan keluarga kita, itu harus berdamai dengan diri kita sendiri dulu. Sebelum kita bisa memulai langkah apa yang ingin kita lakukan, kita harus memaafkan diri sendiri dulu,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa karakter kepemimpinan dibentuk dari diri sendiri. Memimpin dimulai dari memimpin diri sendiri. Kemampuan untuk disiplin, bangun tepat waktu, makan sesuai jadwal, membaca, dan menyelesaikan tugas merupakan bagian dari kepemimpinan. Hubungan baik dengan keluarga, tetangga, atau semua orang juga penting.

Kesuksesan di Dunia Bisnis

Pada tahun 2011, Angkie membangun Disabled Enterprise, sebuah organisasi yang memberikan kelas hard skill dan soft skill bagi teman-teman disabilitas. Usahanya ini kemudian bermitra dengan GoJek di layanan seperti GoClean dan GoMassage.

Saat itu, usianya baru 23 tahun dan ia sudah memimpin 3.800 pekerja yang setiap bulannya mampu menghasilkan Rp 4-7 juta. “Cara bikinnya gimana? Saya banyak tanya. Kebutuhannya mau seperti apa? Terus saya bikin. Gagal, gagal, gagal, gagal, pasti. Saya gagal berkali-kali, saya nangis berkali-kali, sampai pada akhirnya saya bisa dan membuat mereka mandiri,” ceritanya.

Sayangnya, karena pandemi Covid-19, layanan jasa di aplikasi tersebut tutup dan 3.800 orang mitra tak lagi berpenghasilan. Angkie sedih dan menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal.

Menjadi Stafsus Presiden

Tapi jalan selalu ada. Pada tahun 2019, ia dipanggil ke Istana Negara. Tidak kaleng-kaleng, langsung waktu itu Menteri Sekretaris Negara meminta untuk berbicara tentang bagaimana konsep empower teman-teman disabilitas. Mendapat kesempatan itu, ia memaksimalkan waktu tiga menit untuk presentasi.

“Susah. Tapi bukan berarti tidak bisa. Bagaimana kita bisa melakukan public speaking 3 menit untuk membuat kepala pemimpin kita itu percaya kepada kita. Dan saya berhasil melakukannya itu kepada Presiden pada waktu itu. Sehingga saya menjadi staf khusus Presiden sebagai perempuan disabilitas pertama yang berada di Istana Negara,” kisahnya.

Meski latar belakang pendidikannya bukan dari area kebijakan publik, Angkie percaya bahwa semua hal baru bisa dipelajari. Dengan mengabdi kepada negara, ia merasa mengabdikan pikiran dan tenaganya kepada masyarakat.

Setelah habis masa jabatan pada 2024, sekarang ia sedang kuliah S3 bidang komunikasi dan kepemimpinan.