Aturan Resmi Tarif Royalti Musik untuk Kafe dan Restoran

Featured Image

Masalah Royalti Musik untuk Industri Kuliner

Pembayaran royalti musik bagi pelaku industri kuliner seperti restoran, kafe, rumah makan dan sejenisnya telah menjadi topik yang memicu perdebatan. Beberapa pemilik usaha mengeluhkan tarif yang dikenakan, yaitu Rp 120.000 per kursi per tahun. Tarif ini dinilai tidak jelas dan memberatkan, terutama bagi pelaku usaha kecil. Pertanyaannya adalah, apakah benar tarif royalti musik untuk industri kuliner mencapai angka tersebut?

Menurut informasi yang beredar, tarif royalti musik dihitung berdasarkan jumlah kursi atau luas area tempat usaha. Namun, banyak pemilik usaha merasa bingung dengan mekanisme penghitungan dan batasan tarif yang diberlakukan. Misalnya, apakah tarif itu dikenakan per band, per lagu, atau per jumlah tertentu? Hal ini membuat mereka sulit memahami tuntutan pembayaran.

Salah satu contoh adalah Rifkyanto Putro, pemilik Wheelsaid Coffee di Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mengetahui aturan ini sejak 2016, namun hingga saat ini belum mendapatkan penjelasan yang jelas. "Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan," ujar dia.

Putro mengklaim bahwa ia menggunakan layanan Spotify dan YouTube Music untuk memutar musik di kedainya. Namun, ia mulai khawatir karena kedua platform tersebut sejatinya ditujukan untuk penggunaan pribadi, bukan komersial. "Khawatir juga sebenarnya, kalau banyak sosialisasi kan lama-lama tahu dan notice harus bayar sekian," katanya.

Sebagai langkah pencegahan, Putro mempertimbangkan untuk tidak memutar musik sama sekali hingga ada kejelasan regulasi. "Alternatif mungkin nggak ada musik dulu sampai ada kejelasan. Mungkin mulai bulan ini (tidak putar musik)," ujarnya.

Meski demikian, keputusan ini tidak mengganggu operasional kedainya. Menurutnya, konsep Wheelsaid Coffee memang tidak mengandalkan musik sebagai bagian dari suasana. "Dari awal konsep coffee shop enggak ada lagu, jadi flow pembeli cepat," jelas dia.

Peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)

Isu kewajiban membayar royalti bagi pelaku usaha seperti kafe dan restoran kembali muncul setelah adanya penegakan Undang-Undang Hak Cipta. Banyak pemilik usaha memilih menghindari masalah ini dengan tidak memutar musik, atau menggantinya dengan suara alam dan kicauan burung.

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengimbau agar pelaku usaha tidak perlu takut. "Iya, intinya itu. Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut," kata Dharma.

Menurut LMKN, royalti musik dikenakan kepada pelaku industri kuliner berdasarkan keputusan LMKN Nomor: 20160512RKBD/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016. Aturan ini mencakup berbagai jenis usaha, termasuk restoran, kafe, pub, bar, bistro, klab malam, dan diskotik.

Berikut rincian tarif royalti musik di industri jasa kuliner:

  • Restoran dan kafe: Royalti pencipta Rp 60.000 per kursi per tahun dan royalti hak terkait Rp 60.000 per kursi per tahun.
  • Pub, bar, dan bistro: Tarif ditentukan per meter persegi dengan royalti pencipta Rp 180.000 per meter persegi per tahun dan royalti hak terkait Rp 180.000 per meter persegi per tahun.
  • Diskotek dan klab malam: Royalti pencipta Rp 250.000 per meter persegi per tahun dan royalti hak terkait Rp 180.000 per meter persegi per tahun.

Pembayaran royalti musik dilakukan minimal setahun sekali. Meskipun begitu, banyak pelaku usaha masih merasa bingung dengan mekanisme penghitungan dan ketentuan yang diberlakukan. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang lebih luas agar semua pihak memahami hak dan kewajiban dalam sistem pembayaran royalti.