Ekonomi Inggris Terguncang Akibat Dampak Pandemi Covid

Kondisi Ekonomi Inggris yang Masih Terpuruk Akibat Dampak Pandemi
Perekonomian Inggris masih menghadapi tantangan berat akibat dampak jangka panjang dari pandemi virus corona (Covid-19). Banyak indikator menunjukkan bahwa kondisi ekonomi negara ini terus diuji sejak awal wabah pada Maret 2020. Beberapa hal seperti kenaikan utang publik, peningkatan jumlah penerima tunjangan sakit, serta pertumbuhan ekonomi yang lamban menjadi bukti ketahanan ekonomi yang masih rapuh.
Program Furlough dan Beban Keuangan Negara yang Melonjak
Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris adalah program furlough, yang diinisiasi oleh Tim Leunig, penasihat ekonomi Rishi Sunak. Program ini berlangsung selama 18 bulan dan menghabiskan dana sekitar 70 miliar poundsterling. Tujuannya adalah untuk melindungi pendapatan pekerja dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja massal akibat penutupan ekonomi total.
Namun, menurut pernyataan Tim Leunig, program ini memiliki ukuran yang terlalu besar dan bisa dikatakan sebagai kesalahan. Pada Senin (21/7/2025), Office for National Statistics mengumumkan bahwa pemerintah perlu meminjam 20,7 miliar poundsterling demi menutup celah antara belanja dan pendapatan negara. Angka ini merupakan pinjaman terbesar kedua pada bulan Juni sejak rekor bulanan dicatat mulai 1993.
Para ekonom mencatat bahwa kebijakan perlindungan gaji tanpa batas waktu menyebabkan utang publik Inggris meningkat secara drastis. Pada Maret 2025, OBR (Office for Budget Responsibility) melaporkan bahwa rasio beban pajak Inggris diprediksi akan mencapai 37,7 persen dari PDB pada tahun fiskal 2027/2028, yang merupakan angka tertinggi sejak catatan sejarah 1948.
Lonjakan Penerima Manfaat Kesehatan dan Tekanan pada Anggaran Negara
Laporan Institute for Fiscal Studies pada September 2024 menunjukkan lonjakan jumlah penerima manfaat terkait kesehatan di Inggris. Dalam empat tahun terakhir sejak pandemi, jumlah tenaga kerja usia produktif yang mengklaim tunjangan kesehatan naik 38 persen menjadi 3,9 juta orang pada 2024.
Dari jumlah tersebut, 2,8 juta di antaranya keluar dari pasar kerja karena sakit kronis, khususnya long Covid dan masalah kesehatan mental, yang meningkat 37 persen di antara klaim baru. Fenomena ini sangat jarang terjadi di negara-negara maju lain.
Eduin Latimer, peneliti IFS, mengatakan bahwa kenaikan jumlah klaim manfaat kesehatan baru-baru ini menciptakan masalah fiskal bagi pemerintah dan juga menandakan kemunduran kesehatan populasi. Akibat tingginya angka penerima manfaat, tagihan tunjangan diperkirakan naik menjadi 63 miliar poundsterling pada akhir periode pemerintahan berjalan, atau hampir 30 miliar poundsterling lebih banyak dibandingkan level sebelum pandemi pada 2020.
Penurunan Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi yang Melemah
Cambridge Econometrics merilis hasil analisa makroekonomi dampak long Covid pada Maret 2024. Laporan tersebut menemukan bahwa long Covid mengikis PDB Inggris sekitar 1,5 miliar poundsterling setiap tahun dan menyebabkan 138 ribu orang kehilangan pekerjaan.
Jika prevalensi long Covid meningkat, kehilangan PDB bisa membengkak hingga 2,7 miliar poundsterling per tahun dengan lebih dari 311 ribu pekerjaan terdampak pada 2030. Seorang analis menyatakan bahwa dampak utama berasal dari menurunnya kemampuan orang untuk bekerja, yang menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kinerja ekonomi Inggris membuktikan tekanan ini. Statista merilis bahwa pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024 hanya 0,9 persen, setelah tahun sebelumnya 0,4 persen. Meski tumbuh, angka ini jauh lebih lemah dibanding pemulihan pascapandemi di banyak negara maju lain. Kemunduran tersebut juga tercermin pada angka GDP per kapita yang terus turun tiga tahun beruntun.