Keluhan Mahasiswa Papua di Australia: Beasiswa Tertunda, Harus Bekerja

Masalah Beasiswa yang Mengganggu Kehidupan Mahasiswa Papua di Luar Negeri
Pada awalnya, Jonathan Raymond Alexander Inas hanya memiliki satu tujuan ketika menerima beasiswa untuk belajar di Australia: mendapatkan nilai yang baik dan lulus dengan prestasi memuaskan. Namun, perjalanan pendidikannya tidak berjalan mulus. Ia harus bekerja hampir setiap hari di luar jam kuliah karena dana beasiswa yang seharusnya membantu biaya hidup terlambat dibayarkan.
Jonathan adalah salah satu dari ratusan mahasiswa Papua yang mengikuti Program Beasiswa 1.000 Doktor, yang sebenarnya diberikan untuk siswa dari jenjang S1 hingga S3. Meskipun namanya berubah-ubah seiring perubahan kepemimpinan gubernur, program ini telah berlangsung sejak 2009 dan diperkenalkan kembali dengan nama Beasiswa Siswa Unggul Papua.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sekitar 3.000 anak Papua telah meraih gelar sarjana melalui program ini. Namun, bagi Jonathan dan banyak mahasiswa lainnya, program ini justru menjadi sumber kesulitan.
Keterlambatan Pembayaran yang Berkepanjangan
Biaya hidup yang seharusnya diberikan sebesar 1.500 dollar Australia (sekitar Rp 16 juta) per bulan, hanya dibayarkan setiap tiga bulan. Namun, dalam praktiknya, uang tersebut selalu terlambat. Jonathan mengatakan bahwa pembayaran untuk tahun 2023 baru diterimanya pada Agustus 2023, yaitu untuk periode Januari hingga Juni. Lalu, pada Februari 2024, ia menerima pembayaran untuk Juli hingga Desember 2023.
Keterlambatan ini tidak hanya terjadi dalam hitungan minggu, tetapi juga berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan tekanan finansial yang sangat besar bagi Jonathan dan rekan-rekannya.
Dampak pada Kehidupan Akademis
Kondisi ini berdampak langsung pada performa akademis Jonathan. Karena harus bekerja untuk menutupi kebutuhan hidup, ia harus mengurangi fokus pada studinya. Di Australia, mahasiswa internasional diperbolehkan bekerja maksimal 40 jam per minggu, tetapi selama masa liburan, batasan ini bisa lebih fleksibel.
Namun, Jonathan mengaku bahwa ia semakin menurunkan ekspektasinya. Ia tidak lagi menginginkan nilai sempurna, cukup bisa lulus mata kuliah saja sudah menjadi harapan besar baginya. Ia juga mengungkapkan bahwa tekanan mental semakin meningkat karena ia harus terus-menerus khawatir tentang kebutuhan hidupnya.
Bantuan dari Komunitas dan Pihak Terkait
Meski situasi sulit, Jonathan merasa bersyukur karena ada bantuan dari berbagai pihak. Komunitas diaspora Indonesia, gereja, dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne memberikan dukungan. Misalnya, saat akses kampusnya diblokir karena belum bayar biaya kuliah, pihak KJRI melobi kampus agar aksesnya dikembalikan.
Selain itu, KJRI juga sering mengecek kondisi para mahasiswa dan bahkan pernah memberikan tempat tinggal sementara.
Solusi yang Ditawarkan
Masalah keterlambatan beasiswa ini juga diketahui oleh Kementerian Dalam Negeri. Wakil Menteri Bima Arya Sugiarto mengakui bahwa pemekaran wilayah di Provinsi Papua menjadi salah satu penyebab utama. Ia menawarkan dua opsi penyelesaian:
- Alokasi Anggaran dari APBD Wilayah Baru: Kementerian akan memastikan bahwa provinsi baru seperti Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya tetap alokasikan anggaran untuk beasiswa.
- Pergantian Penyedia Beasiswa: Jika tidak memungkinkan, pemerintah akan mencari alternatif penyedia beasiswa lain, seperti LPDP atau lembaga lainnya.
Bima menekankan pentingnya agar tidak ada mahasiswa yang terpaksa berhenti atau putus sekolah akibat masalah ini.
Harapan dan Tantangan di Masa Depan
Jonathan berharap pemerintah provinsi dapat memperbaiki sistem pembayaran beasiswa. Ia menilai jika alokasi dana terbatas, sebaiknya tidak menambah jumlah mahasiswa yang diberangkatkan. Banyak dari mereka memiliki harapan besar, tetapi karena masalah keuangan, beberapa temannya memilih pulang dan berhenti studi.
Dengan harapan bahwa masalah ini segera terselesaikan, Jonathan berharap kehidupan akademisnya bisa kembali stabil dan ia bisa fokus pada tujuannya awal: belajar dengan baik dan meraih gelar.