Mata Mamat Berkaca-kaca, Hidup di Panti demi Merawat Ibunya

Featured Image

Kehidupan Mamat di Panti Asuhan Griya SYD Sidoarjo

Pukul 16.00, waktu shalat ashar tiba. Mamat, siswa kelas 2 SMP yang mengenakan kaus biru bertuliskan Griya SYD Indonesia, duduk di pelataran mushala menunggu dimulainya ibadah berjamaah. Tangannya terangkat setelah salam dua kali, matanya tertutup, wajahnya tampak serius dan penuh keikhlasan. Nama lengkapnya adalah Muhammad Andhika Rizal, tapi ia lebih akrab dipanggil Mamat.

Meski tubuhnya gempal dan terlihat malu saat berjumpa dengan orang baru, pengasuh panti asuhan menyebut bahwa Mamat termasuk anak yang tegas, mandiri, dan ulet. Pada tahun 2022, ketika usianya masih 12 tahun, ia pertama kali datang ke Panti Asuhan Griya SYD Sidoarjo dari kampung halamannya di Jombang, Jawa Timur.

Saat itu, Mamat masih duduk di kelas 5 SD. Ia tidak mampu membayar biaya sekolah, sehingga ditawarkan oleh pengasuh SYD di Jombang untuk tinggal di Sidoarjo. “Katanya di sini enak,” katanya saat bercerita.

Tanpa Sosok Ayah

Mamat lahir tanpa pernah merasakan kehadiran ayahnya. Bahkan, ia tidak pernah melihat wajah ayahnya secara langsung. Menurut cerita ibunya, ayah Mamat meninggal saat ia masih dalam kandungan, tepatnya pada bulan kedua kehamilan.

Kehidupan Mamat sejak lahir dijalani bersama ibunya yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mamat adalah anak bontot, sementara kakak pertamanya sudah berkeluarga dan kakak kedua meninggal dunia.

Ibu Mamat sehari-hari menjual bunga di pinggir jalan. Dagangannya laku keras terutama saat musim ziarah kubur. “Setiap hari saya bantu Ibu jualan bunga, terutama malam Jumat banyak yang beli,” kata Mamat.

Namun, beberapa tahun terakhir, dagangan bunga ibunya mulai jarang terpasang di gerobak. Penyebabnya adalah penyakit diabetes yang diderita ibunya hingga akhirnya kakinya diamputasi. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Mamat dititipkan ke panti asuhan agar bisa melanjutkan pendidikan.

Rindu pada Ibu

Di panti asuhan, Mamat sering mengalami rasa gelisah. Malam-malamnya sering dihiasi isakan tangis karena merindukan ibunya. “Beberapa waktu lalu saya pulang ke Jombang buat lihat Ibu, tapi harus balik lagi ke panti karena sekolah masuk. Tapi malamnya nangis terus karena khawatir Ibu sendirian,” ujarnya dengan air mata yang tak bisa dibendung.

Tidak ada saudara yang membantu merawat ibunya karena masalah keluarga. Mamat hanya ingin kembali ke Jombang untuk merawat sang Ibu. Namun, ia sadar memiliki mimpi yang harus ia capai, meskipun rindu kepada orang tua semata wayang selalu menghantui.

Mimpi Menjadi Dokter

Melihat kondisi ibunya, Mamat memiliki mimpi besar. Ia ingin menjadi dokter agar bisa merawat Ibu. “Kalau jadi dokter bisa merawat Ibu,” ujarnya dengan suara lembut.

Di sisi lain, ibunya juga berharap agar setelah lulus SMA, Mamat kembali ke rumah dan membantu merawatnya. Harapan ini sedikit mengikis ambisinya untuk kuliah. “Saya pengin kuliah, tapi berat kalau harus menjaga Ibu. Jadi mungkin saya hanya ingin menjaga Ibu saja,” katanya.

Di usia yang belum menginjak remaja, Mamat dihadapkan pada dua pilihan: mengejar mimpinya menjadi dokter atau menjaga Ibu. “Saya sedih kalau Ibu suka curhat, gimana kalau Ibu tidak ada. Semoga Ibu sehat,” tutupnya dengan rasa haru.