Negeri Penuh Paradoks: Musim Berganti, Bencana Tak Berkesudahan

Bencana Karhutla: Ancaman yang Tak Kunjung Berakhir
Di tengah siklus musim hujan dan kemarau yang berulang, Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengancam ekosistem dan masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.
Setiap tahun, wilayah-wilayah seperti Sumatra dan Kalimantan menjadi titik utama kejadian karhutla. Kebakaran sering terjadi karena aktivitas manusia, termasuk pembukaan lahan untuk perkebunan sawit atau pertanian. Di beberapa daerah, api telah melalap ribuan hektare lahan, menyebabkan kerugian besar baik secara ekologis maupun ekonomi.
Misalnya, di Jambi, kebakaran telah menghanguskan sekitar 264 hektare lahan gambut di Desa Gambut Jaya. Sementara itu, di Riau, luas lahan yang terbakar mencapai hampir 1.000 hektare, meningkat sekitar 400 hektare dalam seminggu. Di Sumatra Barat, lebih dari 500 hektare lahan terbakar di Kabupaten Limapuluh Kota.
Dampak dari kebakaran ini sangat merugikan. Tidak hanya vegetasi yang hilang, tetapi juga muncul gangguan kesehatan akibat asap pekat, penutupan sekolah, gangguan aktivitas perkantoran, dan pencemaran udara yang menyebar hingga ke negara tetangga. Kerugian ekonomi pun mencapai angka miliaran rupiah.
Ironisnya, meskipun dampaknya begitu besar, langkah pencegahan dari pemerintah masih minim. Penanganan biasanya dilakukan setelah api mulai menjalar dan menimbulkan korban. Seharusnya, upaya preventif dilakukan sejak dini, termasuk edukasi kepada masyarakat tentang bahaya membakar lahan, terutama lahan gambut yang sangat mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
Kurangnya pengawasan serta ketegasan dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran juga memperparah situasi. Banyak pelaku, terutama dari kalangan korporasi, lolos dari jerat hukum, menciptakan anggapan bahwa tindakan pembakaran lahan adalah hal yang "aman" dari sanksi.
Perlu adanya pendekatan yang lebih tegas dalam menangani karhutla. Pernyataan tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyerukan penegakan hukum tanpa tebang pilih terhadap pelaku karhutla, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020, patut mendapat dukungan penuh. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu—baik terhadap individu maupun korporasi.
Saat ini, polisi telah menetapkan 46 tersangka pembakar lahan, semuanya perorangan. Jika terbukti ada perusahaan yang terlibat, sudah semestinya mereka juga dijerat hukum tanpa ampun.
Selain itu, kolaborasi semua pihak sangat diperlukan dalam menangani karhutla. Seruan Kapolri agar semua pemangku kepentingan bersinergi adalah langkah yang tepat. Penanganan karhutla tak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Masyarakat, pemerintah, swasta, dan aparat hukum harus bahu membahu—tidak hanya untuk menanggulangi kebakaran yang sudah terjadi, tetapi juga untuk mencegah bencana serupa terus berulang.
Dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan kesadaran kolektif, diharapkan karhutla dapat diminimalisir dan mencegah kerugian yang lebih besar di masa depan.