Pemimpin Dialog Lintas Sektor untuk Hak Pertunjukan, UPH Tingkatkan Ekosistem Musik yang Adil

Pemimpin Dialog Lintas Sektor untuk Hak Pertunjukan, UPH Tingkatkan Ekosistem Musik yang Adil

Pentingnya Hak Pertunjukan dalam Industri Musik Indonesia

Setiap kali kita mendengar lagu diputar di kafe, konser, atau platform digital, ada satu hal penting yang sering terlewat dari perhatian: hak pertunjukan. Hal ini merujuk pada hak khusus yang diberikan kepada pencipta karya musik ketika karya tersebut dipertunjukkan di ruang publik. Di Indonesia, regulasi mengenai hak ini telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti.

Meski demikian, penerapan regulasi ini masih menghadapi beberapa tantangan, mulai dari interpretasi yang beragam, penegakan hukum yang kurang kuat, hingga kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya menghargai karya intelektual. Untuk menjawab urgensi ini, Universitas Pelita Harapan (UPH) mengambil peran aktif sebagai pelopor dialog lintas sektor.

Seminar Nasional tentang Aspek Hukum dan Bisnis Performing Rights

Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Batch 55 UPH menginisiasi seminar nasional bertajuk “Aspek Hukum dan Bisnis Performing Rights dalam Industri Musik di Indonesia”. Acara ini diselenggarakan pada Rabu, 23 Juli 2025, di Auditorium Gedung D, UPH Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang. Lebih dari 400 peserta hadir, termasuk akademisi, praktisi hukum, pemerhati musik, pengusaha, dan mahasiswa.

Dalam sambutannya, Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., Executive Dean of College of Arts and Social Sciences sekaligus Dekan Fakultas Hukum UPH, menekankan pentingnya memahami hak cipta di tengah pesatnya pertumbuhan industri kreatif. Ia berpesan agar para peserta tidak hanya pulang dengan ilmu, tetapi juga dengan jejaring baru karena kolaborasi menjadi kunci utama dalam era saat ini.

Masalah yang Mengemuka dalam Industri Musik

Salah satu sorotan utama seminar datang dari Vibrasi Suara Indonesia (VISI), organisasi yang digagas para musisi untuk memperjuangkan keadilan royalti. Narasumber seperti Armand Maulana, Ariel Noah, Judika, dan Bunga Citra Lestari membagikan keresahan mereka terhadap ketidakjelasan sistem saat ini.

Armand Maulana menyampaikan bahwa keresahan ini muncul setelah kasus pelanggaran hak cipta yang menimpa Agnes Monica. Belum selesai satu kasus, nama Vidi Aldiano dan Lesti Kejora juga terseret dalam perkara serupa. VISI kini sedang mengajukan uji materi UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ariel Noah menambahkan bahwa langkah ini adalah bagian dari upaya menyelamatkan masa depan industri musik Indonesia. Menurutnya, ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang perlindungan seluruh ekosistem musik.

Bunga Citra Lestari menegaskan pentingnya perlindungan terhadap pencipta lagu. Ia menilai bahwa jika hak cipta tidak dilindungi, industri musik akan sulit berkembang. Sementara itu, Judika menyoroti pentingnya kepastian hukum bagi seluruh pelaku industri.

Peran Lembaga Manajemen Kolektif

Adi Adrian, kibordis KLa Project sekaligus Ketua Badan Perkumpulan Wahana Musik Indonesia (WAMI), membagikan pengalaman panjang WAMI sebagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mengelola royalti musik. Sejak 2006, WAMI menjadi jembatan antara pencipta dan pengguna musik. Mereka mengeluarkan lisensi massal, memantau penggunaan lagu, dan mendistribusikan royalti.

Adi menilai bahwa peran institusi pendidikan tinggi sangat penting sebagai jembatan antara pelaku industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Ia melihat potensi besar UPH sebagai institusi akademik yang mampu membangun kesadaran publik tentang pentingnya menghargai karya musik.

Revisi Undang-Undang dan Peran Pendidikan

Isu performing rights bukan sekadar persoalan legal, tetapi juga refleksi dari tantangan budaya, ekonomi, dan teknologi yang harus dijawab bersama, termasuk oleh perguruan tinggi. Dari perspektif akademik, Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi, S.H., LL.M., Kaprodi Doktor Hukum UPH, menegaskan bahwa hukum tidak bisa berjalan di belakang realitas sosial yang sudah berubah drastis akibat digitalisasi.

Ia menyoroti perlunya revisi Undang-Undang Hak Cipta sebagai langkah konkret dalam menghadirkan sistem hukum yang adaptif dan visioner. Menurutnya, pembaruan regulasi bukan koreksi hukum semata, tetapi bagian dari strategi membangun fondasi industri kreatif yang lebih kokoh.

Seminar ini mencerminkan komitmen UPH sebagai pelopor ruang dialog lintas sektor yang bersama-sama menata ulang sistem yang lebih adil dan transparan. Dunia pendidikan, dalam hal ini UPH, hadir bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai mitra aktif yang menghadirkan solusi berbasis ilmu dan nilai. Melalui kegiatan serupa, UPH terus meneguhkan perannya dalam menghasilkan lulusan yang takut akan Tuhan, kompeten, dan berdampak bagi masyarakat, termasuk di bidang hukum dan industri kreatif.