Peringati Kudatuli, Bonnie Triyana: Sejarah Lawan Kekuasaan Otoriter

Featured Image

Pentingnya Mengingat Sejarah dalam Perjalanan Demokrasi Indonesia

PDI Perjuangan, partai politik yang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, kembali mengajak seluruh kader untuk tetap berpegang pada semangat perjuangan rakyat kecil dan tidak melupakan peristiwa kelam yang terjadi pada 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli. Seruan ini disampaikan oleh Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan, serta Bonnie Triyana, Kepala Bidang Sejarah DPP PDIP, dalam acara talkshow bertajuk "Peristiwa 27 Juli 1996 sebagai Tonggak Demokrasi Indonesia" yang diadakan di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.

Bonnie Triyana menekankan bahwa peringatan Kudatuli bukan hanya sekadar seremoni tahunan, melainkan upaya untuk merawat ingatan kolektif tentang perjuangan demokrasi. Ia menyatakan bahwa sejarah sering kali direkayasa karena kekuasaan takut pada ingatan. Namun, semakin ditekan, semakin kuat masyarakat mengingatnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh jumlah peserta yang mencapai lebih dari 500 orang dalam acara tersebut, yang menjadi bukti bahwa PDIP masih memiliki tempat di hati rakyat.

Selain itu, Bonnie mengusulkan agar peristiwa 27 Juli 1996 ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat ke-13 oleh Komnas HAM. Menurutnya, peristiwa tersebut jelas menunjukkan intervensi negara terhadap kedaulatan partai politik, sehingga layak diakui secara resmi.

Semangat Wong Cilik dalam Perjuangan Politik

Djarot Saiful Hidayat menegaskan bahwa PDI Perjuangan lahir dari rahim wong cilik, bukan partai borjuis atau kapitalis. Ia menekankan bahwa peristiwa Kudatuli menunjukkan betapa kuatnya semangat rakyat kecil dalam bersatu meskipun menghadapi tekanan dan penindasan. Djarot menyebut tindakan kekerasan yang terjadi pada saat itu sebagai tindakan vulgar yang mencederai hak berserikat dan berbicara.

Ia menyoroti pentingnya mengingat peristiwa Kudatuli sebagai bagian dari sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, peristiwa tersebut menggambarkan betapa brutalnya kekuasaan Orde Baru dalam menumpas oposisi politik. Djarot juga menyampaikan bahwa mereka yang diserang justru ditangkap dan dihukum, sementara pelaku penyerangan justru berpesta pora di atas darah dan air mata rakyat. Hal ini tidak boleh dilupakan.

Bahaya Demokrasi yang Menyimpang

Djarot juga mengkritik bahaya demokrasi yang menyimpang, yaitu ketika kekuasaan hanya digunakan oleh segelintir elite untuk memperkaya diri, bukan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ia menyoroti maraknya korupsi, manipulasi konstitusi, serta gaya hidup elite yang menjauh dari nilai-nilai perjuangan. Djarot menegaskan bahwa kekuasaan adalah ujian yang sesungguhnya, dan jangan sampai rakyat menjadi mandor kalak, bekerja kendor tapi makan kuat.

Ia juga menyentil dugaan kriminalisasi terhadap PDIP melalui kasus hukum Sekjen Hasto Kristiyanto yang kritis terhadap pemerintah, sementara kasus-kasus besar seperti penggunaan private jet, proyek infrastruktur di Sumut, dan Blok Medan belum kunjung diusut.

Diskusi dengan Pelaku Sejarah dan Tokoh Terkemuka

Talkshow ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting, termasuk Ribka Tjiptaning dan Jacobus Mayong, serta sejarawan Hilmar Farid. Diskusi dipandu oleh anggota DPR RI, Denny Cagur. Acara ini bertujuan untuk mengingatkan publik, khususnya generasi muda, bahwa demokrasi yang dinikmati hari ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan.

Hadiri dalam acara ini antara lain jajaran DPP PDIP seperti Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Mindo Sianipar, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Yevri Sitorus. Turut hadir Wakil Sekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo serta Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike. Doa dalam acara ini dipimpin oleh Guntur Romli.