Surat Terbuka 1.000 Rabi Yahudi: Israel Gunakan Kelaparan sebagai Senjata di Gaza

Featured Image

Kritik dari Rabi Dunia terhadap Kebijakan Israel di Gaza

Lebih dari 1.000 rabi dari berbagai belahan dunia mengkritik kebijakan pemerintah Israel yang dianggap menggunakan kelaparan sebagai senjata di wilayah Gaza. Mereka menyerukan otoritas di Yerusalem Barat untuk segera memperbolehkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah tersebut. Dalam surat terbuka yang ditandatangani oleh para tokoh agama dan cendekiawan Yahudi dari AS, Inggris, Uni Eropa, dan Israel, mereka menyatakan bahwa masyarakat Yahudi sedang menghadapi krisis moral yang serius.

Surat tersebut menyoroti pembatasan ketat terhadap bantuan kemanusiaan di Gaza serta kebijakan yang menahan pasokan makanan, air, dan medis bagi penduduk sipil. Menurut isi surat itu, tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai inti Yudaisme. Para rabi menekankan pentingnya memberikan bantuan kemanusiaan secara besar-besaran sambil meminimalkan risiko jatuhnya korban dari Hamas. Mereka juga meminta Israel untuk segera bekerja sama dalam upaya memulangkan semua sandera dan mengakhiri konflik.

Surat ini telah mendapatkan lebih dari 1.000 tanda tangan hingga Senin dini hari. Jonathan Wittenberg, seorang rabi asal Inggris, mengungkapkan bahwa ia memimpin kampanye untuk mengungkap ketidakpedulian Israel terhadap kelaparan di Gaza. Ia menilai bahwa tindakan Israel tidak hanya melanggar prinsip etika, tetapi juga merugikan warga sipil yang tidak bersalah.

Penolakan Israel atas Tuduhan Kelaparan

Israel menyalahkan koordinasi internasional yang buruk dan menuduh Hamas mencuri makanan serta menyerang titik distribusi bantuan. Pihak Israel berargumen bahwa kelompok bersenjata tersebut menggunakan narasi kelaparan sebagai alat negosiasi dalam perundingan penyanderaan. Meskipun demikian, Tel Aviv berjanji akan meningkatkan respons kemanusian dengan mengirimkan makanan melalui udara dan menerapkan "jeda taktis" selama akhir pekan agar lebih dari 100 truk bisa membawa pasokan ke Gaza.

Namun, Philippe Lazzarini, kepala badan pengungsi Palestina PBB, menganggap langkah-langkah Israel sebagai tipuan. Ia menegaskan bahwa Israel seharusnya membuka akses bagi 6.000 truk bantuan yang masih menunggu untuk masuk ke Gaza. Menurut Lazzarini, blokade yang diterapkan Israel memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.

Kritik dari Perdana Menteri Australia

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menuding Israel melanggar hukum internasional karena memblokade pengiriman bantuan ke Jalur Gaza. Ia menilai tindakan Israel memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Dalam wawancara dengan ABC News, Albanese menyebut bahwa menghentikan pengiriman makanan merupakan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel pada bulan Maret.

Ia menekankan bahwa aturan keterlibatan dalam konflik dirancang untuk mencegah hilangnya nyawa warga tidak bersalah. "Seorang anak laki-laki berusia satu tahun bukanlah pejuang Hamas. Korban jiwa dan kematian warga sipil di Gaza sama sekali tidak dapat diterima," ujar Albanese. Ia juga menyampaikan keprihatinan atas kondisi warga Gaza yang terus-menerus menderita.

Albanese juga menyampaikan pandangan tentang rencana Prancis yang ingin mengakui negara Palestina pada September mendatang. Ia menyatakan bahwa Australia tidak akan mengikuti langkah serupa dalam waktu dekat. "Kami tidak akan mengambil keputusan apa pun sebagai isyarat, kami akan melakukannya sebagai langkah ke depan jika situasinya memungkinkan," ucapnya.

Meski tidak segera mengakui Palestina, Albanese menegaskan bahwa Australia akan terlibat secara konstruktif dalam upaya menciptakan solusi perdamaian. Ia menekankan pentingnya komunikasi dan kerja sama antarnegara untuk menyelesaikan konflik yang terus berlangsung.