Tentara dan Jenderal IDF Kecam Keputusan Netanyahu

Perlawanan di Dalam Militer Israel
Perang yang berlangsung di Gaza, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, terus berlangsung tanpa henti. Meskipun demikian, perlawanan dari pihak Palestina tetap bertahan. Di sisi lain, semakin banyak tentara dan jenderal pasukan penjajah Israel (IDF) yang menolak untuk melanjutkan operasi militer di wilayah tersebut. Penolakan ini didasarkan pada alasan politik yang semakin meningkat, meskipun jarang terjadi dalam sejarah IDF.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa jumlah tentara cadangan yang hadir semakin berkurang, sehingga membuat para petugas menghubungi mereka melalui media sosial. Surat-surat publik yang ditandatangani oleh pasukan cadangan semakin umum, dengan isinya mengecam kebijakan perang Netanyahu. Teguran dan pemecatan juga mulai terjadi setelah tindakan tersebut.
Jenderal Assaf Orion, mantan kepala perencanaan strategis di IDF, menyatakan bahwa tujuan operasi militer di Gaza tidak lagi memiliki keharusan. Ia menilai bahwa tujuan, cara, dan sarana yang digunakan telah dibajak oleh motif tersembunyi. Menurutnya, alasan utama perang yang berkepanjangan adalah kepentingan politik.
Eran Etzion, mantan wakil kepala dewan keamanan nasional Israel, lebih blak-blakan dalam pendiriannya. Ia mengatakan bahwa alasan utama kampanye di Gaza adalah karena kepentingan pribadi dan politik Netanyahu. Menurutnya, Netanyahu membutuhkan perang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Banyak orang percaya bahwa Netanyahu khawatir pemerintahannya akan runtuh jika perang berakhir. Hal ini karena partai-partai ultranasionalis dalam koalisinya mungkin akan meninggalkannya. Ini menjadi alasan utama bagi Netanyahu untuk terus menjalankan perang, bukan karena Hamas.
Kritik dari Jenderal dan Pemimpin Militer
Letjen Eyal Zamir, kepala staf IDF, berargumen bahwa hanya sedikit manfaat yang dapat diperoleh dengan melanjutkan serangan. Ia menekankan bahwa hal ini akan mempertaruhkan nyawa sekitar 20 sandera yang masih hidup. Meski Hamas kini berubah menjadi unit gerilya independen, mereka tetap berjuang di tengah reruntuhan.
Netanyahu menegaskan bahwa Hamas harus dihancurkan sepenuhnya, bukan hanya sebagai kekuatan militer. Ia berargumen bahwa cara terbaik mencapai kesepakatan penyanderaan adalah dengan melanjutkan perang secara lebih dahsyat. Namun, Tim perunding Israel pulang dari Doha dengan tangan kosong, menunjukkan pesimisme terhadap kemungkinan kesepakatan dalam waktu dekat.
Reputasi negara Yahudi di kancah internasional sedang dalam krisis. Sekutu lamanya seperti Inggris, Prancis, Kanada, dan Australia mengkritik situasi kelaparan di Gaza. Letjen Eyal Zamir juga menyampaikan penolakannya terhadap skema Israel Katz, menteri pertahanan, yang ingin membentuk “kota kemanusiaan” di atas reruntuhan kota Rafah.
Panglima militer khawatir tentang potensi keterlibatan dalam kejahatan perang. Zona tersebut digambarkan oleh mantan perdana menteri sebagai “kamp konsentrasi”, yang bisa menjadi awal dari perpindahan penduduk secara paksa. Hal ini akan memberi tekanan besar pada pasukan yang akan menjaga perimeter dan memfasilitasi masuknya bantuan.
Kehadiran Tentara Cadangan yang Rendah
IDF kini menguasai 75 persen Jalur Gaza. Pekan lalu, mereka menyerbu kota Deir Al-Balah, yang merupakan pertama kalinya pasukan diperkirakan secara sengaja merebut wilayah di mana intelijen mengindikasikan adanya sandera. Netanyahu dan sekutunya berargumen bahwa membiarkan sisa-sisa Hamas tetap utuh akan memicu pembantaian serupa seperti yang terjadi pada 7 Oktober.
Jenderal Orion menyatakan bahwa perang Gaza sudah jauh dari titik puncaknya. Ia menilai bahwa setiap operasi militer memiliki hasil yang semakin berkurang. Biaya meningkat, sementara manfaatnya semakin rendah. Di Gaza, mereka sudah melewati titik tersebut.
Meski angka sebenarnya dirahasiakan, beberapa kelompok kampanye dan politisi yakin tingkat kehadiran tentara cadangan belakangan hanya mencapai 60 persen. Mayoritas adalah mereka yang disebut “penolakan abu-abu”, yaitu orang-orang yang mengaku memiliki masalah kesehatan atau keluarga, atau yang sekadar pergi ke luar negeri saat melakukan panggilan telepon dan “lupa” memeriksa email mereka.
Salah satu penolak panggilan tersebut adalah Ron Feiner, seorang kapten di Brigade Nahal ke-933 Israel. Ia menolak untuk ditugaskan kembali ke Gaza, karena merasa muak dengan perang yang telah menewaskan lebih dari 59.000 warga Palestina. Ia dihukum 25 hari penjara karena menolak bertugas, dan diyakini menjadi bagian dari gelombang pasukan cadangan muda Israel yang merasa tidak bisa lagi berpartisipasi dalam perang negara mereka di Gaza.
Tekanan besar telah meningkat terhadap Israel karena kondisi kemanusiaan yang mengerikan di wilayah tersebut. Lembaga-lembaga bantuan memperingatkan akan malnutrisi massal dan kelaparan yang meluas. Prancis pada hari Kamis mengatakan akan mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Pada Ahad, IDF mengatakan pihaknya memperkenalkan ‘jeda taktis’ dalam pertempuran di beberapa wilayah Gaza.