Thailand-Kamboja: Akar Konflik dan Dampak Diplomatik

Perang Thailand-Kamboja dan Dampaknya terhadap Stabilitas Kawasan ASEAN
Sejumlah pihak di kawasan Asia Tenggara mengkhawatirkan dampak dari konflik antara Thailand dan Kamboja, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta, menyoroti bahwa meningkatnya konflik bersenjata akibat sengketa wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear bisa melemahkan stabilitas kawasan ASEAN.
Sukamta menyampaikan bahwa jika konflik terus membesar, potensi kerentanan bisa muncul melalui migrasi pengungsi atau perdagangan senjata yang melalui wilayah negara ketiga. Hal ini dinyatakan dalam pernyataannya yang dirujuk oleh situs web Partai Keadilan Sejahtera pada Senin, 28 Juli 2025.
Pada hari Jumat, 24 Juli 2025, pertempuran terjadi di dekat Candi Prasat Ta Moan Thom di Surin, Thailand, yang berjarak beberapa ratus meter dari perbatasan Kamboja. Wilayah ini menjadi pusat ketegangan selama bertahun-tahun. Situasi memanas setelah seorang tentara Kamboja tewas dalam insiden bersenjata pada Mei 2025.
Ketegangan tidak hanya terkait klaim sejarah, tetapi juga memengaruhi stabilitas politik dan keamanan kawasan. Perseteruan antara kedua negara berasal dari warisan kolonial Prancis pada awal abad ke-20. Peta yang dibuat otoritas kolonial menempatkan Kuil Preah Vihear di wilayah Kamboja, tepatnya di Dangrek, area pegunungan perbatasan Thailand dan Kamboja. Namun, Thailand menganggap kawasan tersebut masih bagian dari wilayahnya.
Sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1959. Pada 1962, ICJ memutuskan bahwa kuil itu milik Kamboja. Meski putusan ini seharusnya mengakhiri konflik, masalah garis batas di sekitarnya tetap menjadi sengketa. Pada 2008, UNESCO menetapkan Kuil Preah Vihear sebagai situs warisan dunia. Thailand merasa keputusan ini memicu klaim sepihak Kamboja dan mengancam kedaulatannya.
Sejak saat itu, bentrokan bersenjata sering terjadi, termasuk pada Februari 2011 ketika baku tembak di sekitar kuil menewaskan sedikitnya lima tentara. Situasi ini memaksa ribuan warga dari kedua negara mengungsi. ASEAN sempat mengupayakan mediasi dengan mengirimkan pakar ke wilayah perbatasan, namun penyelesaian menyeluruh belum tercapai karena kedua negara bersikukuh dengan klaim masing-masing.
Pada 2013, Mahkamah Internasional kembali menyatakan bahwa seluruh area di sekitar Kuil Preah Vihear termasuk wilayah Kamboja. Namun, Thailand menafsirkan putusan tersebut secara berbeda.
Dampak Diplomatik dan Ekonomi
Konflik ini berdampak terhadap hubungan diplomatik, perdagangan lintas batas, hingga pariwisata. Wilayah yang seharusnya menjadi potensi ekonomi berubah menjadi zona militer. Organisasi internasional seperti Uni Eropa dan PBB beberapa kali menyatakan keprihatinan atas kenaikan konflik sambil mendesak kedua negara mencari solusi damai melalui dialog.
Anouar El Anouni, juru bicara urusan luar negeri Komisi Eropa, menyampaikan bahwa Uni Eropa terus memantau perkembangan situasi di kawasan. “Kami telah memantau dengan saksama perkembangan terbaru di sekitar perbatasan antara Kamboja dan Thailand. Kami sangat prihatin dengan berita meningkatnya ketegangan baru-baru ini, dengan adanya laporan jatuhnya korban jiwa, termasuk di antaranya warga sipil,” katanya.
Hingga saat ini, sengketa perbatasan Thailand-Kamboja tetap menjadi contoh bagaimana warisan sejarah kolonial dan perbedaan tafsir hukum internasional dapat memicu ketegangan berkepanjangan. Meski berbagai upaya diplomasi telah dilakukan, persoalan di perbatasan masih sulit terselesaikan sepenuhnya. Ketegangan politik domestik di masing-masing negara pun sering memengaruhi dinamika konflik ini.
Banyak pihak berharap kedua negara dapat menemukan kesepakatan yang lebih permanen melalui dialog dan mediasi kawasan. “Uni Eropa menyerukan penurunan intensitas konflik ini, dan kami mendesak Kamboja maupun Thailand untuk menahan diri, melanjutkan dialog melalui jalur diplomatik, dan memprioritaskan keselamatan rakyat,” kata Anouar El Anouni.