9 Hal yang Harus Dihindari di Instagram Jika Ingin Dihormati

Featured Image

Mengapa Keaslian Lebih Berharga Daripada Kesan yang Sempurna

Setiap unggahan di media sosial memiliki makna. Ia mencerminkan nilai, prioritas, dan cara seseorang memandang diri sendiri. Dalam hitungan detik, orang-orang membuat penilaian, dan itu bukan hanya tentang penampilan. Ini lebih tentang kredibilitas dan kepercayaan.

Meskipun mungkin terasa mudah untuk berpikir, "Siapa peduli apa kata orang?" Jika tujuanmu adalah dihormati—bukan sekadar disukai atau dipuji—maka hal-hal yang kamu bagikan sangat penting. Rasa hormat yang sejati tidak datang dari tampilan yang menarik, tetapi dari konsistensi antara kehidupan nyata dan dunia digital. Dari kehadiran yang jujur dan integritas yang konsisten.

Berikut ini beberapa hal yang sebaiknya tidak kamu posting jika ingin dianggap serius dan dihormati:

  • Humblebrag yang Menyamar Sebagai Kerentanan
    Contohnya seperti: “Tidak pernah menyangka bisa tembus 100 ribu followers, apalagi aku cuma anak kampung bermodal mimpi. #grateful.” Merayakan keberhasilan itu sah, tetapi menyamarkannya sebagai curhat akan terasa seperti pencitraan. Jika kamu bangga, katakan saja. Jika sedang jatuh, jujurlah. Tapi mencoba melakukan keduanya sekaligus justru akan membingungkan.

  • Selfie Bertubi-tubi dengan Filter Berlebihan
    Boleh saja menampilkan sisi terbaikmu. Tapi jika 98% isi feed adalah wajah dengan filter halus, bibir penuh, mata bercahaya seperti karakter Pixar—pesan yang tersirat jadi berbeda: Bahwa validasi adalah sumber utama harga diri. Semakin sering kamu menampilkan versi diri yang “disempurnakan”, semakin besar rasa curiga dari orang lain. Kepercayaan diri sejati tidak perlu disamarkan.

  • Drama dan Sindiran Publik
    Menyindir lewat story, melempar meme yang mengarah ke seseorang, atau caption samar penuh kode seperti, “Lucunya orang bisa berubah secepat itu.” Semua pernah tergoda. Tapi mengundang penonton ke dalam drama pribadi bukan tanda kedewasaan. Orang yang dihormati tahu kapan harus menyelesaikan sesuatu secara pribadi, bukan melalui sorotan dan likes.

  • Flexing Gaya Hidup yang Tidak Sejalan dengan Realitas
    Mobil mewah yang bukan milik sendiri, minuman mahal hasil patungan, staycation yang terasa lebih seperti sesi foto daripada relaksasi. Berbagi cerita hidup? Oke. Menampilkan gaya hidup yang dipaksakan demi citra? Itu cerita lain. Orang bisa merasakannya. Dan alih-alih terlihat keren, seringnya justru terlihat insecure.

  • Hubungan Pribadi yang Terlalu Terekspos
    Lagi jatuh cinta? Baru putus? Balikan? Lalu berantem lagi? Ketika hubungan dijadikan konten, fokusnya bisa bergeser dari saling terhubung ke saling tampil. Hubungan yang sehat tidak perlu disembunyikan tapi juga tidak harus diumbar. Privasi bukan berarti menyembunyikan sesuatu. Kadang, itu adalah bentuk perlindungan paling tulus.

  • Perangkap Validasi Dibungkus Motivasi
    Bertelanjang dada di depan cermin sambil menulis tentang “healing journey”? Berbikini di pantai dengan caption, “Jangan lupa jaga kedamaian batinmu”? Tidak ada yang salah dengan menampilkan tubuh. Tapi jika caption dan foto seperti berasal dari dua planet yang berbeda, orang mulai mengernyit. Alih-alih membingungkan, lebih baik jujur. Akui saja niatnya, atau posting sesuatu yang benar-benar sejalan.

  • Kutipan-Kutipan Tentang Memutuskan Hubungan
    Batasan itu penting. Tapi jika feed-mu penuh dengan kutipan seperti “Tidak semua orang pantas dapat akses ke hidupmu”, lama-lama kesannya bukan tentang kekuatan. Tapi tentang kepahitan. Orang yang benar-benar mantap tidak merasa perlu mengumumkan siapa yang mereka “hapus”. Mereka cukup bergerak. Tanpa drama. Tanpa notifikasi. Yang paling keras biasanya belum benar-benar merelakan.

  • Kehidupan yang Terlalu Sempurna
    Feed penuh dengan rumah rapi, senyum anak yang tak pernah rewel, kopi dengan busa berbentuk hati, dan pakaian tanpa cela. Cantik, iya. Tapi lama-lama terasa tidak nyata. Semakin terkuratori hidupmu, semakin sulit orang mempercayai bahwa itu otentik. Dan rasa hormat butuh rasa percaya. Tidak harus menunjukkan kekacauan. Tapi juga tidak perlu menyembunyikan semuanya.

  • Kebijaksanaan yang Pasif-Agresif
    Mengunggah kutipan tentang kesetiaan sehari setelah dikhianati. Atau “nasihat bijak” yang jelas-jelas ditujukan untuk mantan. Sekilas terlihat dewasa. Tapi sebenarnya hanya bentuk lain dari konflik tak langsung. Jika ingin menyampaikan sesuatu maka sampaikan. Jika tidak, diam juga pilihan yang elegan. Kebijaksanaan sejati tidak perlu menyengat siapa pun untuk terasa bermakna.

Pada akhirnya, media sosial bisa jadi alat. Bisa jadi panggung. Bisa juga jadi refleksi siapa kamu sebenarnya. Tapi jika tujuannya adalah dihormati, bukan hanya disukai, maka keaslian, konsistensi, dan kebijaksanaan jauh lebih bernilai daripada sorotan. Karena yang benar-benar mengesankan bukan yang selalu tampil sempurna, tapi yang tetap nyata saat semua orang memilih pencitraan.