Apa Itu Female Gaze dalam Film?

Perbedaan antara Male Gaze dan Female Gaze dalam Dunia Film
Sebelum kita mengenal istilah female gaze, konsep male gaze sudah lebih dulu muncul. Konsep ini berasal dari esai Laura Mulvey yang berjudul "Visual Pleasure and Narrative Cinema" yang diterbitkan pada tahun 1975 melalui jurnal Screen. Dalam esainya, Mulvey mengkritik kecenderungan film yang memotret perempuan sebagai objek erotis untuk karakter dalam film dan juga sebagai objek erotik bagi penonton. Ia menggunakan contoh seperti Marilyn Monroe sebagai bukti.
Tidak hanya cara memotret karakter perempuan yang menjadi masalah. Male gaze juga sering menggambarkan karakter pria yang hipermaskulin dan dominan, seolah itu adalah sosok ideal laki-laki. Konsep ini sudah ada sejak lama sebagai bagian dari tradisi Hollywood, dan beberapa film modern masih menggunakan formula male gaze. Contohnya adalah Casino Royale (2006), Transformers (2007), dan The Wolf of Wall Street (2013). Bahkan, beberapa orang menganggap film Anora (2024) juga termasuk dalam kategori ini.
Sebagai lawannya, Mulvey mengusulkan istilah female gaze, yaitu penggambaran cerita lewat perspektif perempuan. Bagaimana implementasinya? Apakah ia bisa menjadi jawaban dari keresahan terhadap male gaze?
Female Gaze Tidak Sesederhana Membalik Gender
Female gaze muncul dengan semangat feminisme. Ia diusulkan bukan untuk membalas dendam dengan balik mengobjektifikasi karakter laki-laki seperti yang banyak orang kira. Menampakkan tubuh kekar pria bukanlah female gaze yang dimaksud Mulvey. Lebih kompleks dari itu, female gaze adalah tentang menggunakan perspektif perempuan untuk menyampaikan cerita.
Film yang sering dipuji dan dijadikan teladan oleh sineas adalah Jeanne Dielman, 23 quai du Commerce, 1080 Bruxelles (1975) karya Chantal Akerman. Film ini dibuat dengan kamera statis dan memotret keseharian seorang ibu rumah tangga yang sebagian besar dihabiskannya di dalam rumah. Awalnya terlihat monoton, tetapi ternyata mengandung pesan tersirat yang kuat dengan twist yang mencengangkan. Film ini bicara tentang perasaan terkungkung dan liberasi dalam satu waktu, serta menunjukkan bahwa karakternya memiliki agensi serta kesadaran untuk membuat keputusan sendiri.
Contoh Film yang Menggunakan Rumus Female Gaze
Female gaze sering dipotret dalam bentuk pengakuan keresahan akan isu-isu yang secara spesifik lebih banyak atau hanya dirasakan perempuan. Misalnya, pengalaman coming-of-age seperti Frances Ha (2012), Eighth Grade (2018), dan Good One (2024). Begitu pun dengan proses menjadi ibu seperti dalam Tully (2017) dan Wasp (2003). Ada juga film yang menggabungkan keduanya, seperti Wadjda (2012) dan Lady Bird (2017).
Ada juga film yang membahas self-hatred akibat tekanan sosial berupa standar kecantikan tak masuk akal, seperti The Substance (2024) dan The Ugly Stepsister (2025). Bisa juga dalam bentuk pengakuan terhadap kepuasan seksual perempuan. Contoh idealnya termasuk The Portrait of Lady on Fire (2019), Babygirl (2024), Bridgerton (2020), dan Lady Chatterley’s Lover (2022).
Female Gaze pada Dasarnya adalah Antitesis dari Male Gaze
Lantas, bagaimana dengan karakter pria? Sudah disinggung sebelumnya, female gaze tidak dibuat untuk mengobjektifikasi pria. Justru sebaliknya, kualitas-kualitas maskulin positif seperti soft-spoken, approachable (ramah, tidak arogan), dermawan, tidak malu menunjukkan keresahan dan kelemahannya, stabil secara emosional, humoris, dan cerdas menjadi daya tarik bagi audiens perempuan.
Mr. Darcy dalam Pride and Prejudice (2005) adalah salah satu karakter pria yang sulit didebat dalam semesta sinema female gaze. Begitu pula dengan Aragorn di The Lord of The Rings (2001), Robbie di Atonement (2007), Eugene di Tangled (2009), dan Jamie Fraser dalam Outlander (2014). Bahkan, audiens perempuan pasti sepakat bahwa mereka lebih tertarik kepada Loki ketimbang Thor dari Marvel Cinematic Universe. Itu pula yang membuat orang setuju ketika kreator The Hunger Games membuat Katniss Everdeen memilih Peeta Mellark ketimbang Gale Hawthorne.
Female gaze pada dasarnya adalah antitesis dari male gaze, tetapi bukan sekadar kebalikan. Ketika male gaze menyederhanakan posisi perempuan sebagai objek seksual, female gaze menawarkan karakter perempuan dan laki-laki yang sama-sama punya agensi dan lebih realistis. Lengkap dengan segala ketidaksempurnaan dan keunggulan yang melekat pada kepribadian masing-masing karakter tanpa bias gender.