Dari Tokyo ke Surabaya, Petualangan Donat Labu Jessica Hartono

Inspirasi dari Tokyo, Donat Labu di Surabaya Menarik Perhatian
Di tengah tren donat yang kembali populer, sebuah gerai kecil bernama Nichi Donut berhasil menarik perhatian para pecinta kuliner di Surabaya, Jawa Timur. Lokasinya berada di Pakuwon Mall, tempat ini menawarkan donat dengan sentuhan Jepang yang unik, menggunakan labu sebagai bahan utama. Nama "Nichi" diambil dari bahasa Jepang yang berarti 'setiap hari'. Bagi pemiliknya, Jessica Hartono, makna tersebut sederhana: ingin agar donat buatannya menjadi bagian dari kebahagiaan kecil yang bisa dinikmati setiap hari.
Terinspirasi dari Tokyo, Dimatangkan di Surabaya
Inspirasi untuk membuat donat labu ini berasal dari Tokyo, tepatnya dari toko populer bernama I’m Donut, yang dikenal dengan donat berbahan dasar labu dan antrean panjang yang mengular. Jessica mulai bereksperimen dengan labu, yang menurutnya menawarkan tekstur dan rasa yang lebih menarik dibandingkan kentang yang sering digunakan di Indonesia.
“Kalau kentang itu keset, sedangkan labu juicy banget. Jadi air dalam adonan bisa dikurangi, cukup dari air labunya sendiri. Labunya manis alami, jadi nggak perlu banyak tambahan gula. Hasilnya teksturnya jadi lebih ringan dan soft,” tambahnya.
Meski terinspirasi dari Jepang, Jessica tidak meniru semua rasa dari sana. Ia menyadari bahwa lidah orang Indonesia perlu penyesuaian. “Saya nggak mau semua rasanya Jepang banget karena nggak semua orang suka. Jadi saya sesuaikan. Yang penting konsepnya tetap pakai bahan alami, tapi bisa dinikmati siapa pun,” ujarnya.
Untuk menciptakan tekstur khas donat Jepang yang lembut, Jessica menggunakan tepung terigu asal Jepang dari supplier lokal yang diolah bersama labu. “Tepungnya bikin adonan lebih halus, kenyal, dan empuknya tahan lama. Jadi nggak gampang keras,” tambahnya.
Rasa yang Beragam, Tapi Selalu Fresh
Di Nichi Donut, pembeli dapat menemukan 16 varian rasa dengan harga mulai Rp 12.000 hingga Rp 40.000. Donat dibagi dalam dua jenis: donat klasik berlubang dengan tambahan topping dan bomboloni isi fresh cream. Pilihan rasanya bervariasi, dari rasa khas Jepang seperti matcha dan kurogoma hingga rasa lokal favorit seperti cokelat, keju, dan abon ayam dengan mayones Jepang serta taburan nori.
“Kurogoma itu wijen hitam kita sangrai biar wangi, lalu di-blender jadi pasta dan dicampur fresh cream. Rasanya gurih, manis, dan ada asin-asinnya. Unik, tapi tetap pas di lidah,” kata Jessica.
Untuk anak-anak, tersedia donat dengan topping lucu berbentuk wajah tersenyum, rusa, hingga karakter imut lainnya. Setiap akhir pekan, Jessica juga rutin membagikan balon gratis agar pengalaman berkunjung ke gerainya semakin menyenangkan bagi keluarga. “Yang penting anak-anak senang. Itu sudah bikin saya bahagia,” ujarnya sambil tersenyum.
Prinsip Utama: Menjual Donat dalam Keadaan Fresh
Salah satu prinsip utama yang dijunjung tinggi oleh Jessica adalah menjual donat dalam keadaan fresh. Semua donat dibuat saat dipesan, tanpa stok pajangan. “Memang agak lama nunggu, tapi semua dijamin baru, lembut, dan nggak keras. Saya sudah kasih tahu di awal ke pelanggan, jadi mereka bisa menyesuaikan,” jelasnya.
“Kalau weekend bisa sampai 1.000 donat terjual, apalagi malam hari mall makin ramai. Tapi saya tetap bikin sendiri, nggak kompromi soal rasa dan kualitas,” imbuhnya.
Donat sebagai Medium untuk Tradisi dan Kebahagiaan
Kini, bagi Jessica, donat bukan sekadar makanan ringan. Ia melihatnya sebagai medium untuk menyampaikan rasa dan tradisi yang bisa dinikmati siapa saja setiap hari. “Donat itu bisa dipanggang, dikukus, atau digoreng. Tapi menurutku yang paling pas ya digoreng. Rasanya lebih moist dan lembut karena minyak menyatu dengan adonan,” pungkas Jessica Hartono.