Daun Pintu di Atas Motor: Kreatif atau Terpaksa?

Featured Image

Pemandangan yang Menarik Perhatian

Pernahkah Anda melihat seseorang menjual daun pintu dengan menggunakan motor? Bukan sekadar imajinasi atau film fiksi ilmiah. Ini adalah kejadian nyata di jalanan, di mana seorang pria tua mengendarai motor lawas yang dimodifikasi untuk menjual dagangannya yang tidak biasa—daun pintu rumah sungguhan. Di belakang motornya terpampang plakat kecil bertuliskan “Jual, pintu”. Kombinasi knalpot ngebul dan wadah besar untuk menopang daun pintu membuat motor itu hanya bisa melaju pelan. Pengendara mobil di belakangnya terpaksa sabar atau mencari celah untuk menyalip karena separuh badan jalan nyaris dikuasainya.

Pemandangan ini terasa absurd sekaligus menyentuh. Apa yang sebenarnya sedang kita saksikan? Kreativitas? Kepepet? Atau mungkin, cara baru membuka "pintu rezeki"?

Panggung Mini di Jalan Raya

Fenomena seperti ini bukanlah satu-satunya. Di kota-kota besar maupun pelosok, semakin banyak kendaraan yang dimodifikasi sebagai lapak berjalan. Dari gerobak kopi instan hingga mobil bekas yang menjadi toko sayur keliling atau lapak soto kwali. Jalanan kini tak sekadar lintasan, tapi panggung penuh improvisasi untuk bertahan hidup.

BPS mencatat bahwa 59,40% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal (per Februari 2025). Artinya, sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada usaha mikro, dagang mandiri, atau profesi yang tidak punya struktur tetap. Dalam kondisi seperti ini, kreativitas bukan lagi nilai tambah—tapi alat bertahan.

Efektifkah Daun Pintu Dijual Begini?

Secara logika bisnis, menjual daun pintu dengan cara berkeliling motor terdengar tidak efisien. Barangnya besar, target pasarnya sempit, dan biaya tenaga plus bensin mungkin tak sebanding dengan omzet. Tapi logika seringkali kalah oleh kebutuhan mendesak.

Menurut studi Behavioral Economics oleh Mullainathan & Shafir (2013), dalam situasi scarcity (kekurangan sumber daya), manusia cenderung melakukan “bandwidth tax”—keputusan-keputusan instan untuk bertahan, meskipun tidak optimal secara jangka panjang. Dalam bahasa kita: ya udah, yang penting jalan dulu.

Dalam buku mereka berjudul Scarcity: Why Having Too Little Means So Much (2013), konsep ini dijelaskan sebagai fenomena ketika keterbatasan (scarcity) dalam satu aspek kehidupan—misal uang, waktu, atau sumber daya lain—menguras kapasitas kognitif (mental bandwidth). Akibatnya, individu yang mengalami scarcity harus membagi perhatian dan energi mentalnya untuk mengatasi kebutuhan mendesak, sehingga ruang untuk pengambilan keputusan jangka panjang, perencanaan, dan pengendalian diri menjadi terbatas. Kondisi inilah yang disebut sebagai bandwidth tax: semacam "pajak kognitif" akibat terbatasnya bandwidth mental.

Mungkin si bapak tahu betul peluangnya kecil. Tapi dibanding menunggu konsumen datang ke toko (yang bisa jadi ia tak punya), lebih baik produknyalah yang menjemput kemungkinan.

Refleksi untuk Kita: Ketika Scarcity Hadir di Meja Kerja

Scarcity dalam konteks ekonomi perilaku (behavioral economics) tidak terbatas hanya pada aspek finansial saja. Scarcity diartikan sebagai kondisi di mana sumber daya—apakah uang, waktu, energi, perhatian, atau komoditas lainnya—dirasa lebih sedikit dibandingkan kebutuhan atau keinginan kita.

Di kantor, acapkali kita mengalami scarcity waktu. Dan yang kemudian terjadi adalah kita cenderung melakukan keputusan-keputusan cepat (short-term) karena tekanan deadline, meskipun keputusan tersebut tidak optimal dalam jangka panjang.

Strategi Menghadapi Scarcity

Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan menerapkan strategi-strategi berikut yang dapat diadaptasi untuk berbagai jenis scarcity—waktu, energi, perhatian, maupun finansial:

  1. Membangun Buffer System (Sistem Penyangga)
    Untuk Waktu: Sisakan 20-30% waktu sebagai buffer dalam jadwal harian.
    Untuk Energi: Jaga 20% kapasitas energi untuk situasi tak terduga—hindari berkomitmen 100% setiap hari.
    Untuk Perhatian: Alokasikan "attention reserve" dengan membatasi multitasking dan menjadwalkan waktu fokus.
    Untuk Finansial: Bangun dana darurat 3-6 bulan pengeluaran dan sisakan 10-15% dari anggaran bulanan untuk keperluan tak terduga.

  2. Prioritisasi Berbasis Impact-Effort Matrix
    Untuk Waktu: Fokus pada tugas high-impact, low-effort terlebih dahulu.
    Untuk Energi: Lakukan pekerjaan yang membutuhkan energi tinggi saat peak energy hours (biasanya pagi).
    Untuk Perhatian: Tackle tugas paling penting saat attention span masih fresh, hindari task switching yang menguras fokus.
    Untuk Finansial: Prioritaskan pengeluaran berdasarkan needs vs wants, investasi jangka panjang vs konsumsi sesaat.

  3. Mengimplementasikan "Pause Principle"
    Berikan jeda 5-10 menit sebelum membuat keputusan penting di bawah tekanan scarcity. Penelitian menunjukkan bahwa jeda singkat ini memungkinkan prefrontal cortex—bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran strategis—untuk kembali aktif dan mengurangi dominasi sistem limbik yang mendorong respons reaktif.

  4. Menggunakan "Future Self" Perspective
    Sebelum membuat keputusan cepat, tanyakan pada diri sendiri: "Apa yang akan dipikirkan oleh diri saya 6 bulan dari sekarang tentang keputusan ini?" Perspektif ini membantu kita keluar dari tunnel vision yang sering muncul saat mengalami scarcity dan melihat gambaran yang lebih besar.

  5. Membangun Support Network
    Scarcity sering kali membuat kita merasa sendirian dan terisolasi. Membangun jaringan dukungan—baik rekan kerja, mentor, atau komunitas profesional—memberikan akses pada perspektif dan sumber daya tambahan saat kita mengalami keterbatasan.

Agar Tetap Optimal Meski Scarcity Hadir Menyapa

Scarcity adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan kita, terlebih sebagai profesional. Namun dengan memahami mekanisme psikologisnya dan menerapkan strategi-strategi di atas, kita dapat mengubah scarcity dari musuh menjadi guru. Alih-alih membuat kita reaktif, scarcity dapat melatih kita untuk menjadi lebih strategis, efisien, dan bijaksana dalam mengambil keputusan.

Yang terpenting adalah menyadari bahwa mengatasi scarcity bukanlah tentang memiliki lebih banyak sumber daya, melainkan tentang mengelola sumber daya yang ada dengan lebih bijak dan membangun sistem yang memungkinkan kita tetap berfungsi optimal bahkan dalam keterbatasan.