Fenomena Rojali dan Rohana Meningkat, Apakah Tanda Kemiskinan Bertambah?

Featured Image

Fenomena "Rojali" dan "Rohana": Perilaku Pengunjung Mal yang Menarik Perhatian

Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan oleh istilah-istilah baru yang berkaitan dengan perilaku pengunjung mal. Istilah seperti "rojali" dan "rohana" kini menjadi viral karena menggambarkan kebiasaan masyarakat saat mengunjungi pusat perbelanjaan. Dengan semakin tingginya jumlah pengunjung, fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah mereka benar-benar berbelanja atau hanya sekadar melihat-lihat.

Apa Itu "Rojali" dan "Rohana"?

"Rojali" adalah singkatan dari rombongan jarang beli, sedangkan "rohana" merujuk pada rombongan hanya nanya. Kedua istilah ini menggambarkan kelompok orang yang datang ke mal hanya untuk berjalan-jalan, melihat-lihat, atau bertanya tanpa niat membeli barang. Fenomena ini mulai mencuat setelah masa pandemi Covid-19, di mana meski jumlah pengunjung meningkat, penjualan tidak sebanding dengan lalu lintas pengunjung.

Penyebab Fenomena Ini

Menurut analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, fenomena ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Ia menyatakan bahwa ketika kemampuan daya beli masyarakat naik, maka fenomena rojali dan rohana akan mulai hilang.

Selain itu, ada juga fenomena yang disebut lipstick index, yaitu kecenderungan konsumen untuk membeli barang mewah dengan harga terjangkau. Contohnya adalah tiket konser atau pertandingan olahraga, meskipun konsumsi barang umum menurun.

Realita di Lapangan

Di lapangan, banyak toko ritel mengalami penurunan omzet akibat fenomena ini. Arlo, penjaga toko optik di Grand Indonesia, Jakarta, mengungkapkan bahwa banyak pengunjung hanya melihat-lihat tanpa niat membeli. Ia menyatakan bahwa anak-anak muda kini lebih sering ke mall hanya untuk jalan-jalan atau makan, bukan untuk berbelanja.

Selain itu, konsep toko yang lebih terbuka juga memudahkan pengunjung untuk hanya melihat-lihat tanpa membeli. Bahkan, beberapa pengunjung memanfaatkannya untuk membuat konten media sosial. Sementara itu, e-commerce yang menawarkan harga lebih murah dan diskon besar menjadi pesaing kuat bagi toko fisik.

Apakah Ini Tanda Kemiskinan?

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, menegaskan bahwa fenomena rojali bukan selalu terkait dengan kemiskinan. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini bisa disebabkan oleh kondisi ekonomi yang sulit, bukan hanya karena euforia pasca-pandemi.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan bahwa kelompok pengeluaran atas cenderung menahan konsumsi. Meskipun ini tidak langsung terkait dengan angka kemiskinan, masyarakat dengan daya beli rendah mulai memprioritaskan kebutuhan dasar.

Solusi untuk Mengatasi Fenomena Ini

Untuk mengatasi dampak dari fenomena ini, pemerintah dan pelaku ritel berupaya mendorong kembali konsumsi masyarakat. Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, menyarankan program insentif seperti diskon besar dapat membantu memicu daya beli.

Dengan adanya Hari Belanja Nasional dan berbagai program diskon lainnya, diharapkan pengunjung bisa kembali berbelanja di mall. Selain itu, pemerintah juga mendorong industri kecil dan menengah (IKM) untuk beradaptasi dengan tren online, seperti TikTok Shop dan Shopee.

Tantangan Jangka Panjang

Ajib Hamdani optimis bahwa fenomena rojali dan rohana akan berubah menjadi robeli (rombongan beli) ketika daya beli masyarakat mulai pulih. Namun, ia menegaskan bahwa pemulihan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi kunci dalam perubahan ini.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi, terutama daya beli masyarakat. Jika pemerintah dan sektor ritel dapat beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi ini, maka sektor ekonomi dapat bangkit kembali. Diharapkan pengunjung mall bisa berbelanja lebih aktif, bukan hanya sekadar jalan-jalan atau makan.