Gol A Gong, Pahlawan Literasi yang Membangun Dunia dari Rumah

Mimpi Literasi yang Menjalar ke Seluruh Negeri
Di sudut Kampung Ciloang, Kota Serang, Banten, sebuah mimpi besar tentang literasi mulai tumbuh dan berkembang. Tempat ini dikenal sebagai Rumah Dunia, sebuah komunitas yang tidak hanya mengajarkan menulis dan membaca, tetapi juga menjadikan literasi sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Rumah Dunia didirikan oleh Gol A Gong, seorang pria kelahiran Purwakarta pada 15 Agustus 1963. Nama aslinya adalah Heri Hendrayana Harris, tetapi dunia mengenalnya melalui nama pena: Gol A Gong. Nama ini lahir dari doa dan filosofi mendalam. "Gol" adalah ungkapan bangga dari ayahnya, seorang guru olahraga, sedangkan "Gong" adalah harapan ibunya agar karya anaknya menggema seperti bunyi gong yang didengar banyak orang. "Dan semua kesuksesan itu dari Allah," kata Gong, menegaskan makna A di tengah nama penanya.
Perjalanan Menuju Dunia Literasi
Perjalanan Gol A Gong menuju dunia literasi bukan tanpa tantangan. Pada usia 11 tahun, ia kehilangan tangan kirinya karena terjatuh dari pohon. Namun, alih-alih tenggelam dalam kesedihan, ia bangkit dengan bekal sederhana dari sang ayah: membaca, berolahraga, dan mendengar cerita. Nasihat ayahnya menjadi dasar untuk menjadi juara badminton meski bertangan satu dan akhirnya menjadi penulis yang karya-karyanya dikirim ke berbagai media massa nasional.
Kemasyhuran Gol A Gong dimulai lewat novel remaja Balada Si Roy, yang terbit di majalah Hai dan menjadi salah satu ikon sastra populer di Indonesia hingga saat ini.
Rumah Dunia, Bukan Sekadar Menulis
Mimpi Gong tentang literasi bukan sekadar menulis buku. Sejak muda, ia bercita-cita membangun gelanggang remaja, tempat anak-anak muda bisa belajar sastra, jurnalistik, dan film tanpa harus pergi ke Jakarta atau Bandung. Pada 1998, setelah menikah, Gong membangun Rumah Dunia di halaman belakang rumahnya. "Rumahku, Rumah Dunia. Aku bangun dengan kata-kata," katanya.
Kelas menulis pertama di Rumah Dunia dimulai tahun 2002. Hingga kini, sudah 41 angkatan mengikuti pelatihan gratis di sana, dengan jumlah alumnus lebih dari 1.000 orang. Menurut Gong, banyak lulusan kelas menulisnya telah menjadi penulis profesional, wartawan, dosen, bahkan diplomat. "Bukan sekadar estetika, saya ajarkan bagaimana tulisan bisa mendatangkan honor, bahkan jadi jalan hidup," lanjut dia.
Dari Rumah Dunia, lahir banyak antologi cerpen, skenario FTV, hingga film. Para alumnusnya kini tersebar di media nasional, lembaga negara, dan industri kreatif. "Ada yang dari angkatan pertama sekarang kerja di Kementerian Luar Negeri, ada yang punya PH sendiri, ada yang jadi dosen dan penulis," ujarnya bangga.
Literasi Kesejahteraan
Gong menyebut konsep yang dia bangun melalui Rumah Dunia sebagai literasi kesejahteraan. Ia percaya bahwa literasi bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi bagaimana ilmu dan keterampilan itu bisa mengubah hidup seseorang. Di Rumah Dunia, menulis bukan hanya untuk berekspresi, melainkan juga untuk bertahan hidup.
"Anak-anak yang kuliah dan butuh uang, saya ajarkan menulis esai, cerpen, lalu kirim ke media. Honornya mereka pakai buat biaya kuliah, bahkan ada yang bisa bangun rumah," tutur Gong. Rumah Dunia kini telah berkembang menjadi sebuah ekosistem literasi. Selain kelas menulis, juga ada penerbitan buku, produksi film, hingga kafe yang mendukung operasional komunitas.
"Kami tidak ingin bergantung pada dana hibah. Kami ingin mandiri," tegasnya. Pada 2012, Rumah Dunia mendapat dana Rp 2 miliar dari Kemenpora untuk membangun infrastruktur dan perluasan area Rumah Dunia, usai sebelumnya Gong menolak tawaran bantuan dari pihak-pihak yang ia anggap bermasalah secara moral.
Rangkul Zaman
Sebagai Duta Baca Indonesia periode 2021–2025, Gong kini berkeliling Nusantara mempromosikan pentingnya membaca dan menulis. Namun, tak lama lagi masa tugasnya akan selesai. Ia sudah menyiapkan perjalanan baru, berkarya sambil berkeliling dunia bersama dua anaknya. "Saya akan backpacking ke 10 negara. Dari Thailand, Laos, Vietnam, hingga Eropa Timur, sambil menulis buku dan mentransfer ilmu ke anak-anak saya," kata Gong.
Kini Rumah Dunia berada di persimpangan zaman. Di era digital, anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada buku. Namun, Gong tidak menolak zaman, ia justru merangkulnya. "Kalau mereka suka main game, saya ajak bikin film. Kalau mereka main medsos, saya ajari bikin konten literasi. Bukan anak-anaknya yang salah. Kadang, orang tua dan gurunya yang belum mau beradaptasi," ujar dia.
Dengan filosofi "Memindahkan Dunia ke Rumah," Gong berharap Rumah Dunia terus menjadi jendela bagi anak-anak muda, terutama di Banten, untuk melihat dunia...