Ibu Bahagia Nikah dengan Pria Kaya, Anak 13 Tahun Menangis Minta Cerai

Kisah Ibu dan Anak yang Menghadapi Prasangka Sosial
Sebuah kisah yang menyentuh hati beredar di media sosial, menceritakan perjalanan seorang ibu yang membangun keluarga baru setelah bercerai. Meski memiliki harapan besar untuk kehidupan yang lebih baik, ia justru menghadapi tantangan tak terduga dari lingkungan sekitarnya.
Perjalanan hidup sang ibu dimulai dari kesulitan ekonomi dan tekanan sebagai ibu tunggal. Saat putrinya masih berusia enam tahun, mantan suaminya meninggalkan mereka. Dengan beban utang dan tanggung jawab yang berat, sang ibu harus berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya. Namun, pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan seorang pria yang lebih tua 20 tahun darinya. Pria tersebut adalah seorang pengusaha sukses yang menunjukkan perhatian dan kelembutan yang membuat sang ibu merasa layak mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup.
Mereka menjalin hubungan selama lebih dari satu tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Meskipun keluarga pihak pria tidak sepenuhnya merestui pernikahan ini, sang pria tetap berkomitmen untuk melindungi istrinya. Kehidupan mereka pun berubah secara drastis. Mereka tinggal di sebuah rumah mewah di pusat kota, dan keadaan finansial sang ibu menjadi stabil. Anak perempuan mereka kini bersekolah di institusi internasional ternama, tanpa lagi khawatir tentang biaya sekolah atau tagihan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, putrinya yang baru saja berusia 13 tahun datang ke kamar dengan mata sembab dan memohon agar ibunya bercerai. Ia mengatakan bahwa teman-temannya di sekolah mengejeknya, menyebut ibunya sebagai "cewek matre" atau "perempuan gila harta" yang menikah hanya demi uang.
Kata-kata itu membuat sang ibu terdiam. Ia mengira anaknya akan bangga atas kehidupan yang kini ia miliki. Ternyata, prasangka sosial telah menghancurkan rasa percaya diri dan kebahagiaan anaknya. Dihadapkan pada dilema, sang ibu sempat mempertimbangkan untuk menyerah demi kebahagiaan anaknya. Namun, ia sadar bahwa hal itu berarti mengajarkan anaknya untuk lari dari kenyataan, bukan menghadapinya.
Esok harinya, sang ibu menceritakan semua kepada suaminya. Tanpa berkata banyak, pria itu langsung mengambil langkah tegas. Ia menghubungi wali kelas anak tirinya dan bersama istrinya mendatangi sekolah. Dalam pertemuan dengan pihak sekolah, ia menegaskan bahwa ia tidak menyekolahkan anaknya untuk mendapatkan stigma negatif. Ia ingin anaknya belajar ilmu, bukan menanggung prasangka.
Setelah itu, pria tersebut mulai aktif dalam kegiatan anak tirinya. Ia menjemputnya dari sekolah, menghadiri rapat orang tua murid, bahkan ikut serta dalam kegiatan kelas. Ia juga meluangkan waktu untuk berbicara dan membangun kedekatan emosional dengan anak. Perlahan, perubahan pun terjadi. Sang anak mulai kembali ceria, bahkan menceritakan momen-momen kebersamaan dengan ayah tirinya kepada sang ibu.
Puncak dari perubahan ini terjadi pada hari ulang tahunnya yang ke-15. Dalam sebuah perayaan kecil, sang anak meniup lilin lalu menatap ayah tirinya dan mengucapkan terima kasih. Kata-kata itu membuat sang ibu terharu hingga menitikkan air mata. Perjalanan panjang yang penuh liku dan tantangan akhirnya membawa mereka pada kebahagiaan yang nyata.