Jawaban: Ibu Aida Tangani Stres Kerja dan Responsif pada Kebutuhan Siswa

Pentingnya Pendidikan Sosial Emosional dalam Pembelajaran
Guru memiliki peran yang sangat penting sebagai teladan dalam proses pembelajaran. Dalam Modul 2 Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025, para pendidik diajak untuk menyusun rencana pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai seperti empati, kesadaran diri (mindfulness), kasih sayang (compassion), dan keterampilan berpikir kritis (critical inquiry). Topik ini akan muncul dalam salah satu tugas utama yang harus diselesaikan oleh peserta PPG 2025 melalui Platform Ruang GTK. Dalam tugas tersebut, ditekankan betapa pentingnya peran guru sebagai figur panutan dalam mengaitkan pendekatan pembelajaran sosial emosional dengan pengalaman belajar siswa.
Contoh Soal dan Cerita Reflektif
Dalam salah satu soal yang terdapat di Modul 2 PSE, diberikan contoh tentang Ibu Aida, seorang guru yang mampu menghadapi stres kerja dan responsif terhadap kebutuhan siswa. Dalam hal ini, Ibu Aida menunjukkan atribut compassion. Pertanyaannya adalah:
Soal: Ibu Aida mampu menghadapi stres kerja sebagai Guru, ia juga responsif terhadap kebutuhan siswa. Dalam hal ini Ibu Aida menunjukkan atribut compassion ....
Pilihan Jawaban:
a. Sensitivity dan distress tolerance
b. Sympathy dan empathy
c. Non judgement dan distress
d. Motivasi
e. Caring/peduli dan empathy
Jawaban Benar: a. Sensitivity dan distress tolerance
Cerita Reflektif Seorang Guru
Sebagai bahan referensi, banyak guru membagikan cerita reflektif mereka yang berkaitan dengan penerapan nilai sosial emosional dalam praktik mengajar. Berikut adalah contoh dari seorang guru yang mencoba mengintegrasikan nilai-nilai empati, kesadaran diri, kasih sayang, dan berpikir kritis dalam proses pembelajaran.
Sebagai seorang guru Pendidikan Pancasila, saya semakin menyadari bahwa menjadi teladan bukan sekadar menyampaikan nilai-nilai luhur, melainkan mewujudkannya dalam tindakan nyata, setiap hari. Saya pun mulai mengubah pendekatan dalam mengajar. Tak lagi hanya fokus pada penyampaian materi secara kognitif, tapi juga menghadirkan nilai-nilai empati, perhatian penuh (mindfulness), kasih sayang (compassion), dan berpikir kritis (critical inquiry) dalam proses pembelajaran.
Suatu hari, saya menghadapi seorang murid yang terus menunjukkan sikap acuh saat diskusi kelas. Alih-alih menegur secara langsung, saya memilih untuk mendekatinya secara pribadi. Saya menanyakan kabarnya, dan yang paling penting, saya mendengarkan—tanpa menghakimi. Dari perbincangan itu, saya tahu bahwa ia sedang menghadapi masalah keluarga yang cukup berat. Saat itulah saya benar-benar memahami makna dari compassion dan mindfulness dalam praktik nyata.
Inilah saatnya saya benar-benar menghidupkan nilai-nilai yang saya ajarkan. Saya kemudian menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan yang lebih reflektif dan empatik. Kami mengangkat topik: "Menerapkan Nilai Kemanusiaan dalam Kehidupan Sehari-hari."
Kelas dimulai dengan sesi refleksi singkat tentang perasaan masing-masing siswa. Kami lalu menyaksikan sebuah video dokumenter tentang anak-anak korban bencana. Dari sana, diskusi kelompok berkembang: bagaimana negara dan masyarakat bisa berperan aktif menciptakan keadilan sosial? Murid-murid saya tidak hanya belajar tentang sila kedua Pancasila, tapi juga belajar merasa, memahami, dan bertindak dengan hati nurani. Beberapa bahkan menulis surat dukungan untuk anak-anak korban bencana—sebuah bentuk kecil, namun tulus, dari empati yang tumbuh dalam diri mereka.
Pengalaman dan Pelajaran Berharga
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjadi teladan berarti menghidupkan nilai-nilai yang kita ajarkan—menjadi pribadi yang mendengar, memahami, dan membimbing, bukan hanya dengan kepala, tapi juga dengan hati. Dengan mengintegrasikan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), saya tidak hanya membentuk murid yang cerdas secara intelektual, tetapi juga murid yang berjiwa besar. Inilah wujud pendidikan yang sejati: membangun karakter, satu hati pada satu waktu.