Konflik Kamboja-Thailand, Jalur ASEAN, dan Sikap Indonesia

Konflik Kamboja-Thailand dan Kegagalan ASEAN Way
Pada Juli 2025, pemerintah Kamboja mengonfirmasi adanya kebocoran komunikasi diplomatik antara Presiden Senat Kamboja Hun Sen dengan Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra. Kejadian ini memicu kembali ketegangan antara kedua negara. Dugaan bahwa Paetongtarn menggunakan panggilan "Paman" yang dianggap tidak etis serta menghina angkatan bersenjata Thailand melalui serangan terhadap Jenderal Boonsin Padklang yang menjaga kuil-kuil di perbatasan, semakin memperburuk situasi.
Serangan udara oleh Thailand terhadap Kamboja pada 24 Juli 2025 menandai puncak dari konflik ini. Pihak Thailand menyatakan bahwa Kamboja terlebih dahulu menembakkan artileri berat dan roket jarak jauh ke wilayah Thailand, yang menewaskan sembilan warga sipil termasuk seorang anak berusia 9 tahun. Sementara itu, Kamboja menuduh bahwa dua bom telah dijatuhkan di sebuah jalan, yang mereka anggap sebagai agresi militer yang tidak bertanggung jawab terhadap kedaulatan mereka. Pasukan Kamboja hanya membalas setelah diserang.
Akibat eskalasi konflik ini, sekitar 40.000 penduduk dari 86 desa yang terletak dekat perbatasan dievakuasi. Kebocoran komunikasi diplomatik ini menunjukkan bahwa di balik retorika persahabatan ASEAN, masih ada ketegangan dan luka lama yang belum terselesaikan.
Perdebatan tentang status Kuil Preah Vihear, yang menjadi sengketa sejak 2008 hingga 2011, kini meluas ke situs-situs penting seperti Prasat Ta Muan Thom. Sentimen nasionalisme yang terus dipelihara juga turut memperkuat konflik ini. Pada April 2011, Kamboja meminta Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menafsirkan putusan 1962 dalam kasus Kuil Preah Vihear. Putusan ICJ pada 2013 menegaskan kedaulatan Kamboja atas seluruh Preah Vihear dan memerintahkan Thailand untuk menarik pasukannya.
Pada masa itu, Indonesia yang menjabat sebagai ketua ASEAN berhasil meredam eskalasi konflik melalui mediasi saat KTT ASEAN. Indonesia dikenal sebagai negara netral dan cinta damai dengan politik luar negeri bebas aktifnya. Namun, kini Indonesia terlihat absen dalam isu-isu regional, terutama karena fokus pada masalah dalam negeri dan hubungan dengan barat.
Keterbatasan pendekatan ASEAN Way, yang berbasis prinsip non-intervensi, konsensus, dan diplomasi, mulai terlihat. Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 Piagam ASEAN, yang menekankan penghormatan terhadap kedaulatan dan identitas nasional setiap negara anggota, serta penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai. Namun, dalam situasi seperti ini, pendekatan ini dinilai lambat dan lemah.
Sengketa antara Kamboja dan Thailand terkait Candi Preah Vihear bukanlah hal baru. Meski ICJ pada 1962 telah memutuskan bahwa candi tersebut berada di wilayah Kamboja, persoalan tidak lantas usai. Thailand menolak klaim Kamboja atas wilayah di sekitar candi dan memicu konflik bersenjata antara 2008 hingga 2011. Saat itu, Indonesia memainkan peran penting sebagai mediator, bahkan mengirim tim pengamat demi meredam ketegangan.
Namun kini, peran tersebut nyaris tak terlihat. Indonesia yang menjabat sebagai anggota Dewan HAM PBB tampak absen dalam wacana publik maupun inisiatif ASEAN terkait konflik Kamboja Thailand. Eskalasi geopolitik per-Juli 2025 menunjukkan bahwa konflik ini telah berkembang dari sengketa perbatasan menjadi isu strategis yang mengancam stabilitas regional.
Di sisi lain, prinsip non-intervensi dalam hal penguatan keadaulatan nasional yang menjadi tulang punggung Piagam ASEAN justru tidak menimbulkan titik temu ketika konflik terjadi antaranggota. Mekanisme konsensus dan musyawarah tanpa sanksi maupun intervensi efektif membuat ASEAN kerap gagal bertindak tegas.
Kompleksitas hukum internasional juga menjadi tantangan. Putusan ICJ 1962 dan putusan lanjutan tahun 2013 tentang interpretasi putusan 1962 seharusnya menjadi dasar yang final dan mengikat bagi kedua negara. Namun implementasi putusan ICJ sangat bergantung pada kemauan politis, karena tidak adanya mekanisme penegakan hukum langsung dan memaksa dalam sistem ICJ.
Konvensi Den Haag 1954 dan UNESCO 1972 juga mewajibkan negara untuk menjauhkan situs budaya dari konflik militer. Sayangnya, baik Thailand maupun Kamboja belum meratifikasi Konvensi Den Haag 1954, sehingga belum secara spesifik memberikan paksaan dalam melindungi kawasan kebudayaan dari konflik bersenjata.
Faktanya, situs ini terus menjadi simbol persaingan nasionalisme. Pengerahan pasukan masih terjadi di sekitarnya, dan penggunaan narasi sejarah untuk memperkuat klaim teritorial kian masif. Padahal, menurut Piagam PBB Pasal 2 ayat 3, semua sengketa internasional harus diselesaikan dengan cara damai dan tanpa bahaya.
ASEAN Way, diplomasi regional, butuh reformasi. Model alternatif seperti pembentukan mekanisme regional ad hoc mediation body atau penguatan High Council perlu dikaji ulang. Penguatan mekanisme damai melalui mediasi dan tanpa senjata, serta peran dewan di kawasan terasa sangat diperlukan.
Antara harapan dan tantangan, konflik Kamboja-Thailand tahun 2025 ini tidak hanya mengungkap sisi rapuh dari relasi bilateral dua negara. Ia juga memperlihatkan kegagalan ASEAN Way dalam merespons krisis secara cepat dan efektif. Absensi Indonesia sebagai garda terdepan untuk mengambil peran aktif semakin menegaskan lemahnya solidaritas regional yang bersandar pada diplomasi retoris semata.
Sudah saatnya ASEAN meninjau kembali prinsip-prinsipnya. Bukan untuk menanggalkan nilai di piagamnya, tetapi untuk memberikan ruang pada pendekatan yang lebih responsif, berbasis hukum internasional, dan memperkuat kepemimpinan negara-negara kunci, seperti Indonesia. Karena bila tidak, warisan budaya dan historis akan terus menjadi simbol perang yang tak kunjung damai, sementara Asia Tenggara tetap menjadi kawasan yang kaya akan budaya, selalu sibuk berbicara persatuan, tapi gagal dalam penyatuan solidaritas sesamanya.