Mbah Dasno, Penjaga Tradisi Dawet Dibal di Tengah Persaingan Minuman Modern

Seorang Penjaga Warisan Budaya di Desa Dibal
Di bawah pohon rindang yang teduh, suara sendok beradu dengan mangkuk terdengar pelan. Suara ini mengisi suasana kota kecil yang tenang. Di sana, seorang laki-laki tua dengan tubuh ringkih tetapi masih tangguh sedang melayani pembeli satu per satu. Ia adalah Mbah Dasno (66), satu-satunya penjual dawet tradisional yang tersisa di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali.
Dulu, Desa Dibal dikenal sebagai sentra minuman khas yang bernama dawet. Namun kini, hanya Mbah Dasno yang bertahan dalam menjual minuman tradisional ini. Ia mulai berjualan dawet sejak tahun 1970-an, ketika ia masih muda. Dengan pikulan sederhana di pundaknya, ia berjalan kaki keliling desa, menyusuri pematang sawah hingga masuk ke Kota Solo.
“Dulunya saya bisa sampai ke Pasar Kembang di Laweyan,” kenangnya dengan senyum yang memancarkan kebanggaan. Pada masa itu, dawet sangat populer di kalangan petani. Setiap musim panen, Mbah Dasno sering berhenti di gubuk-gubuk sawah untuk melayani para petani yang sedang beristirahat.
“Saya senang melihat mereka yang lelah bisa kembali segar setelah minum dawet,” ujarnya. Saat itu, tidak hanya Mbah Dasno yang menjual dawet. Hampir setiap gang di Desa Dibal memiliki pedagang dawet keliling. “Dulu ada puluhan penjual, semuanya membuat sendiri, tidak ada yang beli jadi. Rasanya beda-beda, tapi semua khas Dibal,” kata Mbah Dasno.
Namun, seiring waktu, banyak dari mereka yang berhenti. Ada yang beralih profesi karena usia, dan ada juga yang tidak sanggup bersaing dengan minuman modern. Kini, hanya Mbah Dasno yang masih bertahan, meskipun ia tidak lagi kuat berjalan jauh.
“Ikut saja di sini, di dekat makam. Badan sudah tidak kuat keliling,” katanya pelan. Meskipun tampak sama dengan dawet pada umumnya, Mbah Dasno menjelaskan bahwa perbedaan terletak pada racikan santan dan gula merah yang digunakan.
“Yang membedakan itu di santan dan gula merah, serta warnanya. Kalau dawet Dibal tidak terlalu hijau pekat, warnanya lebih lembut,” jelasnya sambil mengaduk santan kental. Selain itu, cendol dibuat sendiri dari tepung beras dengan pewarna alami. Santan diolah dari kelapa segar, dan gula merah direbus perlahan hingga menghasilkan rasa manis legit khas pedesaan.
“Ia tidak pernah mengganti cara. Sejak dulu ya seperti ini. Kalau berubah nanti rasanya bukan Dawet Dibal lagi,” tegasnya. Harga yang dipatok juga sangat terjangkau, hanya Rp 3.000 per mangkuk. “Nggak tega kalau mahal, wong kebanyakan pembelinya orang kampung,” katanya sambil tersenyum.
Usia Mbah Dasno memang sudah tidak muda lagi. Namun, bagi dia, menjaga dawet Dibal adalah hal penting. Baginya, minuman ini bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi warisan budaya yang harus dijaga. Apalagi saat ini, banyak sekali minuman kekinian seperti boba, thai tea, dan es kopi susu yang menjamur.
Setiap hari, ia mulai berjualan pukul 09.00 WIB dan berhenti ketika dagangan habis. Biasanya menjelang siang, semua sudah ludes. “Alhamdulillah, walau tidak banyak, tapi selalu ada rezeki,” imbuhnya.