Mengapa Film Horor Sering Gunakan Trope Duka Cita?

Featured Image

Munculnya Duka Cita sebagai Topik Utama dalam Film Horor

Dalam beberapa tahun terakhir, duka cita menjadi salah satu tema yang semakin sering muncul dalam film-film horor. Meskipun bukan ide baru—karena sejumlah film klasik seperti The Changeling (1980), Lake Mungo (2008), dan Antichrist (2009) juga sudah menggunakannya—namun tren ini mencapai puncaknya pada akhir 2010-an hingga awal 2020-an. Mengapa duka cita menjadi pilihan utama produser film horor? Apakah ada hubungan langsung antara duka cita dan ketakutan? Mari kita bahas lebih lanjut.

Eksplorasi Ketakutan dengan Pendekatan Baru

Tren terbaru dalam industri film horor menunjukkan bahwa banyak film kini tidak lagi bergantung pada hantu atau jump scare untuk menimbulkan rasa takut. Sebaliknya, mereka dibuat dengan pendekatan yang lebih minimalis, baik secara visual maupun audio, namun tetap kaya makna simbolis dan komentar sosial. Genre ini dikenal sebagai elevated horror, yang dipopulerkan oleh distributor dan rumah produksi independen seperti A24, Blumhouse, Oscilloscope, IFC Films, NEON, dan Shudder.

Ciri utama dari elevated horror adalah upaya para sineas untuk mengeksplorasi berbagai bentuk ketakutan manusia. Contohnya, isu-isu seperti rasisme, keresahan generasi muda, kapitalisme, kesulitan ekonomi, perundungan, kekerasan domestik, kesepian, dan tentu saja duka cita. Di era modern, penonton semakin cerdas dan sadar akan ancaman nyata yang lebih dekat dengan kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketakutan yang diangkat dalam film pun beralih dari hal-hal supernatural ke aspek-aspek yang lebih realistis, seperti rasa takut akan kemiskinan dan kesepian.

Duka Cita dan Ketakutan: Kedua Hal yang Beririsan

Duka cita memang menarik karena mampu memicu perasaan terasing dan terisolasi. Setiap orang memiliki pengalaman unik dalam menghadapi rasa duka, termasuk ketika kehilangan orang yang sama. Misalnya, dalam film Hereditary (2018), bagaimana sang ibu menyikapi kematian anak bungsu berbeda dengan cara sang ayah dan anak sulungnya. Perbedaan ini mencerminkan dinamika hubungan yang berbeda antara masing-masing karakter dengan orangtua mereka.

Film-film seperti The Monkey (2025), Bring Her Back (2025), dan Nope (2022) juga menunjukkan bagaimana dua saudara kembar atau kakak beradik bisa merasakan duka yang berbeda meski sama-sama kehilangan orang tua. Ini menunjukkan bahwa duka cita sering kali dianggap sebagai pengalaman yang mengisolasi seseorang.

Menurut Millar & Lee dalam tulisan mereka berjudul ‘Horror Films and Grief’ untuk jurnal Emotion Review, duka cita bisa diibaratkan sebagai disrupsi dalam kehidupan. Proses ini memaksa seseorang untuk beradaptasi dengan realitas baru, yang sering kali menciptakan ketidaknyamanan, ketakutan, bahkan jijik. Secara fisiologis, efek dari rasa takut dan duka cita juga mirip, seperti perasaan sesak napas, lemah, peningkatan hormon stres, jantung berdebar cepat, dan tekanan darah meningkat.

Film Horor tentang Duka Cita sebagai Alat Regulasi Emosi

Masih merujuk pada riset Millar & Lee, film horor dengan tema duka cita ternyata memiliki dampak signifikan bagi orang-orang yang sedang berduka. Karena duka cita adalah pengalaman yang sangat personal, film bisa membantu penyintas merasa tidak sendirian. Hal ini juga didukung oleh Alexandra Dos Santos, seorang kolumnis Literary Hub, yang merasa novel horor The Haunting of Hill House karya Shirley Jackson membantunya memproses kematian ibunya. Ia merasa adanya kesamaan antara dirinya dan karakter Eleanor dalam novel tersebut.

Riset Millar & Lee juga menemukan bahwa film bisa membantu penonton melakukan konfrontasi terhadap perasaan negatif. Film menawarkan struktur dan kohesi narasi yang membantu seseorang meregulasi emosinya. Meskipun tidak semua film menawarkan akhir yang melegakan, melalui cerita yang terstruktur, penonton bisa ikut merasakan emosi si protagonis. Bagi pihak yang sedang berduka, sering kali sulit untuk mengungkapkan perasaan mereka, bahkan sampai mati rasa. Di sinilah film horor duka cita memberikan gambaran konkret yang mereka butuhkan.

Contohnya, monster dalam film The Babadook (2014) sering dianggap sebagai metafora dari duka cita yang menghantui ibu dan anak selama beberapa waktu. Akhirnya, mereka bisa berdamai dengan "monster" itu. Sementara itu, film seperti Antichrist (2009), Talk To Me (2023), dan Bring Her Back (2025) menggambarkan dampak fatal dari duka cita yang mengalahkan akal sehat. Di sisi lain, Nope (2022) dan The Haunting of Bly Manor (2020) menampilkan proses seseorang melanjutkan hidup setelah kehilangan orang yang paling dicintainya.

Tren Film Horor yang Berkembang

Tren film horor modern menunjukkan bahwa ketakutan dan ketidaknyamanan bisa diciptakan dari hal-hal yang lebih relevan dengan kenyataan. Saat ini, hantu yang menyeramkan bukan lagi momok utama. Justru, film-film yang mengangkat tema duka cita dan emosi manusia yang kompleks mulai mendominasi. Ini menunjukkan bahwa film horor kini tidak hanya bertujuan untuk menakut-nakuti, tetapi juga untuk menjelaskan dan menggambarkan pengalaman-pengalaman emosional yang sering kali tidak terucapkan.