Mereka Kritik Keputusan Prabowo Hapus Tom Lembong dan Beri Amnesti Hasto

Kritik terhadap Keputusan Presiden Mengenai Kasus Korupsi
Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto pada 31 Juli 2025 lalu mendapat berbagai kritik dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum dan organisasi mahasiswa. Keputusan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip hukum yang seharusnya diterapkan dalam kasus korupsi.
Abolisi dan Amnesti dianggap Tidak Sesuai dengan Konteks Hukum
Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman, menyatakan bahwa kasus korupsi yang menimpa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong adalah murni perkara hukum, bukan kasus politik. Oleh karena itu, ia menilai tidak semestinya penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme abolisi atau amnesti.
"Kasus ini kan kasus hukum. Apakah ini kasus politik? Kalau iya, berarti suatu keputusan yang luar biasa oleh presiden. Harusnya besok-besok juga ada suatu bentuk yang lain kalau memang politik," ujarnya.
Ia menekankan bahwa amnesti dan abolisi idealnya diberikan dalam konteks politik, seperti yang pernah dilakukan terhadap narapidana UU ITE atau pelaku makar tanpa senjata di Papua. Dalam konteks korupsi, pembebasan seharusnya tetap melalui jalur hukum formal.
Meski demikian, Hibnu tetap mengakui bahwa presiden memiliki hak prerogatif konstitusional untuk memberikan pengampunan. Ia juga menyebut potensi politik di balik keputusan tersebut. "Makanya ini menjadi utang budi juga bagi Hasto dan Tom Lembong, kan. Jadi berutang budi sama negara. Ya secara tidak langsung,” kata dia.
Langkah Politik untuk Meredam Ketegangan Pasca-Pemilu
Chudry Sitompul, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, menyampaikan kritik serupa. Ia menilai keputusan Presiden Prabowo sebagai langkah politik untuk meredam ketegangan pasca-Pemilu 2024.
“Ini, kan, mau menunjukkan bahwa Pak Prabowo secara politik dia mau bilang ‘jangan menambah kisruh politik’,” katanya.
Menurut Chudry, pemberian abolisi untuk Tom dimungkinkan karena vonisnya belum inkrah (berkekuatan hukum tetap), sementara Hasto sudah menjalani proses hukum hingga vonis final. Namun, menurutnya, motif pengampunan tetap lebih bernuansa rekonsiliasi politik ketimbang alasan yuridis.
BEM SI: Demokrasi Dikebiri, Oposisi Dijinakkan
Tidak hanya dari kalangan akademisi, kritik tajam juga datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Koordinator Pusat BEM SI, Muzammil Ihsan, mengatakan keputusan Presiden ini menunjukkan adanya rekonsiliasi besar-besaran dalam skema politik saat ini.
"Di mana mereka merangkul semua pihak dan dijalankan dalam kerangka membangun stabilitas politik," kata dia.
Menurut BEM SI, keputusan tersebut berpotensi mengarah pada oligarki politik dan mempersempit ruang kontrol publik terhadap pemerintah. Mereka menyuarakan agar kebijakan pengampunan tetap berpijak pada prinsip keadilan, bukan konsolidasi kekuasaan.
“Kekuasaan yang tidak diawasi secara kritis berpotensi menimbulkan oligarki baru yang membahayakan masa depan demokrasi Indonesia.”
Penjelasan Menteri Hukum
Sementara itu, pihak pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini diambil demi persatuan nasional, terutama menjelang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyebut keputusan tersebut sebagai bagian dari upaya menciptakan kondusivitas politik nasional.
"Presiden ingin adanya rasa persaudaraan dan terciptanya kondusivitas. Sekaligus membangun bangsa bersama dengan semua elemen politik," kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam konferensi pers di kompleks Gedung DPR Senayan, Jakarta, pada Kamis malam, 31 Juli 2025.
Hal senada disampaikan oleh Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, yang menyebut langkah ini sebagai bagian dari kebijakan politik untuk mempererat seluruh elemen bangsa.