Orang yang Sering Mengatakan "Maaf" Tanpa Alasan, Biasanya Pernah Alami 8 Hal Ini Saat Kecil Menurut Psikologi

Featured Image

Mengapa Banyak Orang Terlalu Sering Meminta Maaf?

Apakah kamu sering berkata “maaf” bahkan untuk hal-hal yang tidak sepenuhnya salah? Misalnya, saat meminta izin bertanya, ketika seseorang menabrakmu, atau hanya untuk menyampaikan pendapat. Jika iya, kamu tidak sendirian. Dalam psikologi, kebiasaan berlebihan meminta maaf, atau over-apologizing, sering kali bukan sekadar sikap sopan, melainkan cerminan dari pengalaman masa kecil yang membentuk pola pikir tertentu.

Orang-orang yang terus-menerus merasa perlu meminta maaf, bahkan untuk hal yang bukan kesalahannya, sering kali mengalami luka tak terlihat dari masa kecil. Luka ini bisa berkaitan dengan rasa takut ditolak, keinginan untuk selalu diterima, atau ingin menghindari konflik.

Ada beberapa pengalaman masa kecil yang sering dialami oleh orang-orang yang tumbuh menjadi pribadi yang mudah meminta maaf secara berlebihan. Berikut adalah delapan di antaranya:

  1. Tumbuh di Lingkungan Keluarga yang Kritis atau Perfeksionis
    Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kritis cenderung merasa bahwa apa pun yang mereka lakukan tidak pernah cukup baik. Setiap kesalahan kecil dibesar-besarkan, bahkan hal-hal yang bukan kesalahan mereka tetap dianggap salah. Akibatnya, mereka belajar untuk selalu bersikap defensif dengan meminta maaf sebelum disalahkan.

  2. Dibiasakan Mengalah dan Memendam Emosi
    Anak-anak yang diajarkan untuk selalu mengalah demi kebaikan bersama tanpa diajarkan cara mengekspresikan emosi dengan sehat, akan terbiasa memendam perasaan tidak nyaman. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa untuk menjaga hubungan baik, mereka harus menekan perasaan sendiri dan meminta maaf walau tidak salah, demi menghindari konflik.

  3. Orang Tua yang Tidak Stabil Emosinya
    Memiliki orang tua yang emosinya mudah meledak-ledak membuat anak merasa harus selalu berhati-hati dalam bersikap. Mereka belajar untuk membaca situasi dan sering meminta maaf sebagai bentuk penenang agar situasi tidak memburuk. Ini bisa menjadi pola hingga dewasa, di mana mereka otomatis meminta maaf agar orang lain tidak marah.

  4. Pengalaman Dimarahi di Depan Umum atau Dipermalukan
    Anak-anak yang pernah dipermalukan di depan orang lain akan mengalami rasa takut terlihat “salah” di depan umum. Mereka lalu membangun mekanisme defensif dengan meminta maaf duluan agar tidak dihakimi atau dipermalukan lagi.

  5. Pola Asuh yang Otoriter
    Dalam keluarga otoriter, pendapat anak sering kali diabaikan atau dianggap tidak penting. Akibatnya, anak merasa bahwa pendapatnya gangguan bagi orang lain. Saat dewasa, mereka terbiasa meminta maaf bahkan sebelum berbicara, karena merasa keberadaannya mengganggu.

  6. Sering Dijadikan Kambing Hitam dalam Konflik Keluarg
    Anak-anak yang terbiasa disalahkan atas konflik di rumah, seperti pertengkaran antar orang tua, akan menginternalisasi rasa bersalah yang tidak semestinya. Ini membuat mereka tumbuh menjadi pribadi yang merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, sehingga otomatis meminta maaf meski bukan kesalahannya.

  7. Kurangnya Pengakuan atau Validasi Emosi
    Anak-anak yang tidak mendapatkan validasi emosi, seperti sering didengar “jangan cengeng”, akan tumbuh dengan keyakinan bahwa perasaan mereka tidak penting. Mereka terbiasa mengesampingkan diri sendiri dan lebih mementingkan kenyamanan orang lain, termasuk dengan cara meminta maaf agar tidak merepotkan.

  8. Pengalaman Bullying atau Penolakan Sosial
    Anak-anak yang pernah mengalami penolakan di lingkungan sosial, seperti di sekolah atau lingkungan bermain, sering mengembangkan pola “pleasing” atau berusaha menyenangkan semua orang agar diterima. Salah satu caranya adalah selalu meminta maaf agar tidak dianggap menyebalkan atau agresif.

Kenapa Kebiasaan Ini Sulit Hilang Saat Dewasa?

Kebiasaan over-apologizing bukan hanya sekadar pola komunikasi, tapi sering kali sudah menjadi bagian dari identitas dan mekanisme pertahanan diri. Otak mereka terbiasa memandang situasi sosial sebagai potensi bahaya, sehingga meminta maaf menjadi reaksi otomatis. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa membuat seseorang terlihat kurang percaya diri, rentan dimanfaatkan, dan mengalami kecemasan sosial.

Oleh karena itu, penting untuk menyadari akar penyebabnya dan mulai melatih diri dengan pola komunikasi yang lebih asertif.

Cara Perlahan Mengubah Kebiasaan “Over-Apologizing”

  • Sadari Pola dan Pemicu – Catat kapan kamu paling sering meminta maaf tanpa alasan yang jelas.
  • Ganti Kalimat Maaf dengan Terima Kasih – Misalnya, alih-alih berkata “maaf ya sudah merepotkan”, ubah menjadi “terima kasih sudah meluangkan waktu”.
  • Latihan Asertivitas – Belajar menyampaikan pendapat dengan tegas tapi tetap sopan.
  • Terapi atau Konseling – Jika akar masalah berasal dari luka masa kecil yang mendalam, bantuan profesional bisa sangat membantu.
  • Self-Validation – Latih diri untuk menyadari bahwa perasaan dan keberadaanmu sah dan tidak harus selalu “minta izin” untuk diterima.

Penutup

Mengucapkan “maaf” adalah tanda kerendahan hati, tapi jika dilakukan secara berlebihan, bisa jadi itu adalah cerminan luka psikologis dari masa kecil. Mengenali pola ini bukan bertujuan untuk menyalahkan masa lalu, melainkan untuk memahami diri sendiri agar bisa membangun hubungan yang lebih sehat di masa depan.