Pomme de Terre di Kota Dingin yang Menyentuh Jiwa

Perjalanan di Kota Dingin Antsirabe
Angin yang menusuk tulang memasuki kabin bis taxi-brousse saat kendaraan berhenti di tepi jalan berbatu Antsirabe. Aku menggigit bibir, menatap hamparan sawah terasering yang hijau di balik kabut pagi, sementara tangan gemetar memegang tas kain usang. Dari Antananarivo yang sejuk, perjalanan selama enam jam dengan travel berisik itu melelahkan, terutama saat melewati jurang sempit di sepanjang rute menuju Fianarantsoa. Tapi inilah Antsirabe: kota dingin di ketinggian 1.500 meter, di mana udara terasa seperti selimut basah dan setiap sudutnya dipenuhi sayur mayur segar yang baru dipetik.
Di pinggir jalan, para petani Merina berkerudung lamba duduk di atas gerobak kayu, menjajakan wortel sebesar lengan bayi, kentang berlapis tanah, dan buah sakafon-drano (selada air) yang kehijauan. Aku menghampiri warung kecil beratap seng, asap mofo gasy (kue beras tradisional) mengepul dari tungku tanah liat. Di papan kayu usang tertulis: "Pomme de Terre Frit -- 500 Ariary".
"Pomme de... apa?" gumamku, bingung.
Seorang wanita paruh baya di balik meja tersenyum, tangannya yang hitam oleh arang mengangkat wajan berisi kentang goreng kecokelatan. "Pomme de terre, zanaka. Vy frit," katanya dalam bahasa Malagasi, lalu menirukan gerakan menggoreng. "Kentang. Enaingena tsara."
Aku tersenyum lega. Selama di Antananarivo, aku belajar beberapa frasa Malagasi dari seorang tukang becak atau anak-anak yang belajar basket: inona izany? (apa itu?), misaotra (terima kasih). Tapi "pomme de terre"... itu bahasa Prancis, yang tak pernah kudengar sebelumnya.
"Misy vy frit vao azo?" tanyaku ragu-ragu, Ada kentang goreng yang baru saja matang?
Wanita itu terkejut, lalu tertawa riang. "Ooooh! Miteny Malagasy tsara ianao!" (Wah! Bahasa Malagasimu bagus sekali!). Ia mengangguk-angguk, lalu menggorengkan kentang segar untukku, sambil berteriak pada seorang kakek berjaket wol yang duduk di bangku bambu: "Rabe! Misy vazaha izay mahay teny anay!" (Rabe! Ada turis yang pandai bahasa kita!)
Kakek itu mendekat, matanya berbinar seperti melihat sesuatu yang langka. Ia duduk di sebelahku, tangannya yang berkerut menyentuh piring kentang goreng. "Di Antsirabe, kentang itu fiainantsika," katanya perlahan, Kentang itu menghidupi kami. "Dulu, saat musim kemarau, nenek moyang kami hanya punya ubi dan kentang. Tapi lihat sekarang..." Ia menunjuk ke luar warung, di mana ladang kentang membentang sampai ke kaki bukit. "Tanah ini memberi kami vy, voanio, sakafon-drano... tapi yang paling berharga adalah fihavanana, persaudaraan."
Aku mengunyah kentang hangat itu, rasanya gurih dengan sentuhan garam kasar. Rabe tiba-tiba berdiri, mengeluarkan koin dari kantong jas wolnya, dan meletakkannya di meja. "Misaotra, zanaka. Ini untukmu."
"Ahoana no antony?" (Mengapa?) tanyaku kaget.
Ia tersenyum, menepuk pundakku. "Bahasa adalah jembatan. Jika kau menghargai tanah kami dengan berbicara seperti anak kami, kami akan memberimu aina, jiwa kami."
Sebelum pergi, Rabe memberiku bungkusan daun pisang berisi kentang rebus dan sepotong mofo gasy. "Bawa ini untuk perjalanan. Di Fianarantsoa nanti, katakan pada siapa pun: Antsirabe dia toerana misy fihavanana sy vy frit, Antsirabe adalah tempat persaudaraan dan kentang goreng."
Saat bis taxi-brousse kembali melaju, aku menatap kota yang perlahan menghilang di balik kabut. Di tanganku, bungkusan kentang masih hangat, sementara di telinga, bisikan Rabe bergema: "Bahasa bukan hanya kata. Ia adalah cara kita mengatakan: Aku melihatmu. Aku menghargaimu."
Sekarang aku kembali ke Antsirabe. Kota itu masih dingin, tapi kini jalannya diaspal, warung-warung kayu diganti kafe dengan WiFi. Di sebuah restoran mewah, aku memesan "pomme de terre frit" dengan suara mantap. Pelayan muda tersenyum, lalu berbisik: "Anda bicara seperti kakek Rabe."
Aku terdiam. Di meja sebelah, seorang bocah bermain dengan kentang goreng sambil menyebut-nyebut "vy frit" dalam bahasa Malagasi. Aku tersenyum, meletakkan koin di meja, persis seperti yang Rabe lakukan dulu.
"Ini untukmu," kataku, meniru gerakannya 26 tahun silam. "Bahasa adalah jembatan."
Angin pegunungan berhembus, membawa aroma kentang goreng dan kenangan. Di Antsirabe, kota yang lahir dari dinginnya tanah dan hangatnya manusia, fihavanana tak pernah lekang oleh waktu.