Tomat, Bawang Merah, dan Beras Picu Kenaikan Harga Pokok di NTB

Featured Image

Inflasi di NTB Terkait Kenaikan Harga Bahan Pangan

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menghadapi tekanan inflasi yang berasal dari kenaikan harga kebutuhan pangan. Berdasarkan data terbaru, inflasi tahunan (year on year/y-on-y) pada Juli 2025 mencapai 3,05 persen. Dari total inflasi tersebut, kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan inflasi sebesar 5 persen dan andil sebesar 1,80 persen terhadap total inflasi provinsi.

Komoditas Bahan Pangan yang Mempengaruhi Inflasi

Komoditas bahan pangan menjadi aktor utama dalam kenaikan harga ini. Tomat menjadi komoditas yang memberikan kontribusi terbesar dengan andil sebesar 0,41 persen, diikuti oleh bawang merah (0,21 persen) dan beras (0,17 persen). Ketiganya merupakan bahan konsumsi harian yang sangat dekat dengan pola makan masyarakat NTB.

Selain itu, beberapa komoditas lain seperti ikan teri (0,11 persen), ikan layang atau benggol (0,09 persen), ikan tongkol (0,09 persen), serta minyak goreng dan kopi bubuk (masing-masing 0,08 persen) juga turut berkontribusi terhadap inflasi. Produk hasil laut seperti cumi-cumi, udang basah, dan ikan kembung juga menyumbang inflasi meski dalam skala yang lebih kecil.

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau terdiri dari tiga subkelompok, yaitu makanan, minuman tidak beralkohol, serta rokok dan tembakau. Subkelompok makanan mencatat inflasi tertinggi yaitu 5,36 persen, disusul oleh minuman tidak beralkohol sebesar 4,06 persen, dan rokok serta tembakau sebesar 3,45 persen. Dalam subkelompok rokok, sigaret kretek mesin (SKM) menjadi komoditas dominan dengan andil 0,08 persen, diikuti oleh sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM).

Dinamika Harga Bahan Pangan

Meskipun sejumlah komoditas mengalami kenaikan harga, ada juga yang mengalami penurunan dan berkontribusi terhadap deflasi. Antara lain cabai rawit (-0,05 persen), ayam hidup (-0,04 persen), serta pisang, kangkung, dan pepaya yang masing-masing memberikan andil deflasi sebesar 0,02 persen. Hal ini menunjukkan adanya dinamika harga yang dipengaruhi oleh faktor musim panen, distribusi logistik, dan ketersediaan pasokan.

Dari sisi inflasi bulanan (month to month/m-to-m), kelompok makanan, minuman, dan tembakau tetap menjadi penyumbang terbesar terhadap kenaikan harga. Dalam skala bulanan, beras kembali menjadi penyumbang utama dengan andil 0,07 persen, disusul bawang merah (0,06 persen), dan ikan tongkol (0,04 persen). Komoditas seperti cabai merah, tomat, jeruk, apel, dan bahkan kangkung, juga ikut menyumbang inflasi dalam skala kecil.

Sebaliknya, terdapat pula komoditas yang menahan laju inflasi, seperti cumi-cumi (-0,06 persen), udang basah, dan kacang panjang yang masing-masing menyumbang deflasi sebesar 0,02 persen. Beberapa jenis ikan dan sayuran juga turun harga secara musiman.

Langkah Pengendalian Inflasi

Berdasarkan data ini, Badan Pusat Statistik (BPS) NTB menekankan bahwa kebijakan pengendalian inflasi perlu difokuskan pada sektor pangan. "Distribusi bahan makanan dan stabilisasi harga pangan adalah kunci. Fluktuasi yang kecil saja pada bahan-bahan seperti tomat dan beras bisa berdampak besar pada inflasi keseluruhan karena kontribusinya yang tinggi terhadap konsumsi rumah tangga," jelas Dr. Wahyudin, Kepala BPS NTB.

Ia juga menyarankan agar pemerintah daerah bersama TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) dapat terus mengamati perkembangan harga dan menjaga kelancaran distribusi terutama dari sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi. Selain itu, pola tanam berbasis kalender musim juga bisa menjadi solusi jangka menengah agar produksi dan pasokan tetap terjaga.

Kenaikan harga bahan makanan tidak hanya menekan konsumen, tetapi juga menjadi indikator penting bagi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat dan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan sosial. Dengan inflasi pangan sebagai penyumbang terbesar, maka perhatian terhadap sektor ini tidak bisa ditunda.