6 Hal Memalukan yang Dilakukan Para Boomer di Facebook yang Bikin Anak-anak Menahan Napas

Featured Image

Perilaku yang Masih Dilakukan Baby Boomer di Facebook

Facebook dulu adalah tempat nongkrong digital bagi anak muda. Ia berkembang menjadi sebuah klub eksklusif yang membutuhkan alamat email kampus untuk bisa bergabung. Kini, platform ini telah berubah menjadi museum kesalahpahaman antargenerasi. Yang dulunya dianggap keren, kini menjadi ajang pertunjukan hal-hal yang membuat generasi muda menatap layar dengan rasa campur aduk antara geli dan putus asa.

Apa yang bagi Baby Boomer terasa seperti kasih sayang dan keterhubungan, bagi anak-anak mereka lebih mirip invasi privasi dan mimpi buruk digital. Berikut ini beberapa perilaku yang masih sering dilakukan para Boomer di Facebook, yang membuat generasi setelahnya bertanya-tanya: "Apakah ini saatnya minta akun mereka dihapus saja?"

Menggali Foto Lama Seperti Arkeolog Sosial

Mulai sekitar tahun 2019, banyak orang tua menemukan keasyikan menjelajahi masa lalu digital anak-anak mereka. Kini, mereka rajin berkomentar di foto-foto dari 2008 atau 2010 dengan pertanyaan polos nan menusuk seperti, "Itu bir ya??" atau "Siapa cowok yang merangkulmu itu?"

Yang sering tidak mereka sadari: setiap komentar memicu notifikasi ke semua orang yang ditandai—termasuk teman sekamar kuliah yang sekarang sudah jadi VP, mantan yang sudah menikah, dan bahkan orang asing yang tidak ingat pernah difoto bersama. Komentar seperti “Kamu terlihat kurus di sini!” atau “Kenapa rambutmu tidak seperti ini lagi?” bukan hanya membangkitkan kenangan lama, tapi juga menyebarkannya kembali ke linimasa hari ini.

Bagi Boomer, Facebook adalah album keluarga. Tapi bagi generasi digital, itu adalah simpul dalam jejaring sosial yang kompleks. Menggali masa lalu sama dengan menyebarkannya ke masa kini dan tidak semua kenangan layak dibangkitkan di depan umum.

Percakapan Pribadi di Tempat yang Paling Publik

"Telepon Ibu."
"Kita perlu bicara soal operasi Ayahmu."
"Sudah kamu baca pesan soal nenek?"

Semua itu ditulis di dinding Facebook. Bukan pesan pribadi. Bukan chat. Tapi status yang bisa dibaca ratusan orang, termasuk rekan kerja, mantan pacar, dan teman SMA yang masih misteriusnya ada di daftar teman. Bagi para Boomer, Facebook adalah ruang keluarga digital tempat wajar untuk membahas kabar warisan, hasil kolonoskopi, atau konflik antarkeluarga. Sementara anak-anak mereka ingin berteriak, “Itu bukan tempatnya!”

Upaya edukasi sudah dilakukan: tutorial, tangkapan layar, bahkan simulasi langsung. Tapi tetap saja, pesan seperti “Perceraian sepupumu sudah final” muncul di kolom komentar di bawah foto liburan. Dunia menjadi saksi.

Umpan Emosi Berkedok Postingan Religi dan Meme

Setiap hari, linimasa generasi muda dipenuhi dengan postingan seperti: "Bagikan jika kamu percaya Tuhan, scroll jika tidak." atau "97% orang tidak akan membagikan ini. Apakah kamu termasuk yang peduli?"

Bagi para Boomer, ini bukan spam. Ini panggilan jiwa. Mereka membagikannya dengan penuh ketulusan, seolah-olah postingan ini membawa misi kemanusiaan. Namun bagi anak-anak mereka, ini seperti surat berantai dari tahun 2003 yang terus bereinkarnasi dalam bentuk digital. Postingan-postingan ini adalah jebakan rasa bersalah mini: bagikan atau kamu tidak punya hati. Sayangnya, tidak semua orang ingin linimasanya diubah jadi papan pengumuman amal atau kuis keimanan.

Antusiasme Foto Profil yang Tidak Pernah Turun

Seseorang mengganti foto profil dalam hitungan menit, komentar-komentar bermunculan: “Cantik!” “Wow luar biasa!” “Menawan sekali!” Foto bisa saja buram, pencahayaan kurang, atau bahkan hanya bayangan samar di latar belakang. Tetap saja, antusiasme membanjir seolah-olah ini pemotretan editorial majalah.

Bagi para Boomer, mengganti foto profil adalah momen besar, seperti menyerahkan foto dompet ke kerabat. Jadi wajar kalau semua orang harus komentar. Sementara generasi muda lebih hemat reaksi: satu like, mungkin emoji api, sudah cukup. Tidak perlu parade pujian.

Oversharing Soal Kesehatan (Lengkap dengan Foto Luka Operasi)

“Besok biopsi. Doakan ya!”
"Penggantian ginjal sukses! Lihat lukanya di sini!"
"Kemoterapi ke-4, semangat!"

Facebook bagi Boomer telah menjadi jurnal medis interaktif. Mereka membagikan perjalanan kesehatan lengkap dengan lokasi rumah sakit, foto gaun pasien, dan bahkan detail prosedur yang tidak semua orang siap baca saat makan siang. Anak-anak mereka? Panik. Kenapa status tentang hasil tes darah bisa dibaca oleh teman kantor? Haruskah seluruh dunia tahu tentang pemeriksaan prostat minggu depan?

Boomer merasa ini bentuk keterbukaan dan dukungan komunitas. Yang lain hanya ingin menekan tombol mute.

Status Misterius ala Sphinx Digital

“Kecewa.”
“Beberapa orang…”
“Tuhan tahu yang sebenarnya.”

Tanpa konteks. Tanpa penjelasan. Dan tiba-tiba linimasa terasa seperti teka-teki kehidupan. Dalam waktu singkat, komentar membanjir: “Ada apa, Sayang?” “Doakan ya.” “Cerita dong!” Tapi jawaban dari si pembuat status justru makin kabur: “Belum saatnya.” “Kamu tahu siapa kamu.” “Biarkan waktu bicara.”

Anak-anak mereka langsung panik: “Mama kenapa? Ayah baik-baik saja? Ada yang meninggal??” Setelah diselidiki ternyata hanya karena klub buku mengganti jadwal. Boomer tahu bahwa misteri menarik perhatian. Mereka hanya belum menyadari bahwa perhatian itu bisa datang bersama kekhawatiran yang sangat nyata.

Pada akhirnya Facebook hari ini adalah arena benturan dua budaya digital. Generasi Baby Boomer melihatnya sebagai ruang keluarga yang lebih besar, tempat curhat, menyapa, dan berbagi segalanya. Sementara generasi muda memperlakukannya seperti taman umum—boleh duduk, tapi jaga suara. Apa yang bisa dilakukan? Mungkin tidak banyak. Tapi sedikit pengertian (dan pengaturan privasi) bisa membantu menjembatani jurang ini tanpa perlu menghapus akun siapa pun.