Aceh Darurat HIV, Mahasiswa Terancam

Aceh Darurat HIV, Mahasiswa Terancam

Situasi Darurat HIV/AIDS di Aceh

Provinsi Aceh kini menghadapi situasi yang sangat memprihatinkan terkait penyebaran HIV/AIDS. Banda Aceh menjadi pusat penanganan kasus, bukan hanya karena tingginya angka temuan di ibu kota, tetapi juga karena banyak pasien dari kabupaten/kota lain memilih berobat ke fasilitas kesehatan di Banda Aceh. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh mencatat lonjakan kasus HIV/AIDS sepanjang Januari hingga Juni 2025. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Banda Aceh, Supriady, total kasus mencapai 585, terdiri dari 475 kasus HIV dan 110 kasus AIDS.

Banyak penderita belum terdeteksi karena enggan melakukan tes darah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketakutan akan terbongkarnya identitas atau stigma sosial yang menghambat deteksi dini. Perilaku seksual berisiko menjadi penyebab utama penularan. Dalam beberapa bulan terakhir, LSM Galatea Banda Aceh & Lhokseumawe, yang dipimpin oleh Yunidar, melaporkan bahwa setiap bulan mereka menemukan satu hingga dua kasus baru di Banda Aceh. LSM ini aktif mengajak kelompok berisiko untuk melakukan tes darah, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui pendampingan langsung.

Koordinator Lapangan Penjangkauan HIV/AIDS LSM Galatea, Yunidar, menyebut jumlah kasus HIV/AIDS di Aceh sebagai fenomena gunung es. “Yang terlihat hanya permukaan. Banyak yang terjangkit akibat perilaku seksual berisiko, tapi enggan melakukan pengecekan,” ujarnya. Ia menekankan perlunya dukungan pemerintah kota dalam mengurangi diskriminasi layanan kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS. Diskriminasi ini kerap terjadi karena ketakutan petugas kesehatan akan tertular, serta minimnya pengetahuan tentang HIV/AIDS.

Tantangan dalam Pencegahan dan Deteksi Dini

Salah satu tantangan utama dalam penanganan HIV/AIDS adalah ketakutan akan terbongkarnya identitas saat melakukan tes darah. Stigma dan potensi dikucilkan membuat banyak orang enggan memeriksakan diri. Kasus baru terungkap ketika mereka mengeluhkan gejala infeksi menular seksual. Setelah dicek, hasilnya positif. Selain itu, Yunidar menyoroti kejenuhan minum obat di kalangan penderita HIV/AIDS. Banyak yang sudah tahu statusnya, tapi enggan minum obat dan berisiko menularkan ke orang lain.

Ia menilai perlu strategi pencegahan yang lebih terarah dari pemerintah kota. Ia menyarankan agar sosialisasi menyasar kelompok berisiko tinggi, termasuk edukasi pra-nikah dan pencegahan pelecehan seksual. “Deteksi dini sangat penting. Kita ajak kelompok berisiko untuk tes darah sebagai langkah awal pencegahan,” pungkasnya.

Pendekatan Langsung kepada Kelompok Berisiko

Penjangkau Lapangan LSM Galatea, Agussalim, menjelaskan bahwa ia bersama tim rutin melakukan pendekatan langsung kepada kelompok berisiko untuk melakukan tes darah sebagai upaya deteksi dini. Di Banda Aceh, kasus HIV paling banyak ditemukan pada pria dengan perilaku hubungan sesama jenis (LSL). Untuk menjangkau mereka, Agussalim bahkan menggunakan aplikasi dan media sosial seperti Instagram.

“Mereka seperti sistem multi-level marketing. Kalau si A punya upline, bisa menyebar ke si B, C, D, lalu dari si D ke A, F, G, dan seterusnya,” jelasnya. Sosialisasi dan pendampingan terus dilakukan. Ia bahkan menyebarkan nomor ponselnya kepada kelompok berisiko agar mereka bisa langsung menghubungi saat ingin memeriksakan diri. “Pengecekan dan obat semuanya gratis. Kami hanya butuh KTP untuk pendataan. Jangan takut, identitas mereka tetap aman,” tutupnya.

Penyebaran Melalui Media Sosial

Supriady, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Banda Aceh, menyebutkan bahwa dari total kasus tercatat, mayoritas penderita merupakan laki-laki. Lebih lanjut, kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) menjadi penyumbang terbesar dengan 273 kasus, disusul oleh kelompok biseksual sebanyak 94 kasus, populasi umum 76 kasus, dan sisanya berasal dari kelompok lainnya.

Dari hasil wawancara dengan beberapa pasangan yang tertangkap, sebagian besar dari mereka terbukti positif HIV setelah dilakukan skrining. Kebanyakan merupakan pasangan sesama jenis laki-laki. Polanya mereka ini bertemu melalui aplikasi kencan berbasis media sosial. Cukup klik akun yang tampilannya menarik, janjian di suatu tempat, dan langsung melakukan aktivitas seksual berisiko, tanpa ada perkenalan atau bayaran. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘have fun’.

Aktivitas tersebut, kata Supriady, dilakukan atas suka sama suka dan cenderung tanpa rasa takut akan risiko penyakit. Bahkan, menurut Supriady, para pelaku menganggap HIV bukan lagi sesuatu yang menakutkan. “Ketika ditanya apakah mereka tahu risiko penularan, mereka menjawab tahu. Tapi kalau kena HIV, tinggal minum obat. Mereka sudah tidak takut lagi,” ujarnya.

Upaya Pencegahan dan Edukasi

Selain itu, pihak Palang Merah Indonesia (PMI) juga mencatat adanya pendonor darah yang terdeteksi mengidap HIV di Banda Aceh. Meski darah yang tercemar langsung dimusnahkan dan pendonor dihubungi kembali, tetapi tidak semua bersedia datang lagi. “Kalau dalam istilah mereka (pengidap HIV/AIDS) itu ada yang namanya buang darah, dengan harapan virusnya hilang. Padahal tidak seperti itu,” tambahnya.

Di sisi lain, pemerintah juga tengah menggagas pembentukan program rehabilitasi berbasis edukasi dan pendampingan, namun bukan dalam bentuk rumah fisik untuk menghindari potensi menjadi tempat berkumpul para pelaku. Modelnya virtual, kami akan libatkan psikolog, pemuka agama, dan dokter spesialis. Jika ada yang tidak ingin mengungkap identitas, bisa ikut off-camera. Setelah itu, bisa dilanjutkan dengan konseling lebih dalam.

Supriady menambahkan, pentingnya peran serta masyarakat dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS dan perilaku menyimpang lainnya. Ia mengimbau warga untuk melapor ke aparat gampong jika menemukan indikasi aktivitas seksual menyimpang di lingkungannya. “Kita harapkan peran aktif warga dalam pengawasan. Ini untuk menjaga bersama-sama lingkungan agar tetap sehat dan aman,” pungkasnya.

Fakta Penting tentang HIV/AIDS di Aceh

  • Tercatat 585 kasus di Banda Aceh:
  • 475 kasus HIV
  • 110 kasus AIDS
  • Diskriminasi layanan kesehatan masih terjadi terhadap penderita HIV/AIDS. Ketakutan tenaga medis dan minimnya pengetahuan menjadi penyebab utama.
  • Banyak penderita belum terdeteksi karena enggan tes darah.
  • Perilaku seksual berisiko jadi penyebab utama penularan.
  • Temuan kasus baru hampir setiap bulan.
  • Ketakutan akan terbongkarnya identitas menghambat deteksi dini.
  • Banyak penderita enggan minum obat meski tahu statusnya.