Ahli Hukum Kehilangan Arahan, Apa Pentingnya Amnesti Hasto Kristiyanto dan Penghapusan Tom Lembong?

Penafsiran terhadap Keputusan Amnesti dan Abolisi yang Menimbulkan Kontroversi
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto serta abolisi bagi mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menimbulkan berbagai spekulasi mengenai alasan politik di balik tindakan tersebut. Berbagai pihak, termasuk akademisi dan pengamat hukum, mulai mempertanyakan keabsahan dari langkah ini.
Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyampaikan keraguan terhadap alasan rekonsiliasi nasional yang digunakan sebagai dasar kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa meskipun kasus Hasto dan Tom Lembong bisa dikategorikan sebagai kasus politik, hal itu tidak cukup untuk menjadi dasar rekonsiliasi nasional sebagaimana disampaikan oleh Menteri Hukum.
“Saya merasa agak bingung. Di mana kasus politiknya? Taruhlah ini kasus politik. Tapi apa yang ingin direkonsiliasi? Apa yang sedang retak?” ujar Zainal dalam sebuah acara diskusi Caksana Institute bertajuk “Amnesti dan Abolisi Pelaku Korupsi: Supremasi Hukum vs Politik Kekuasaan?” pada Sabtu (2/8).
Menurut Zainal, isu yang lebih relevan adalah dinamika internal elit politik, khususnya hubungan antara Presiden Prabowo dengan tokoh-tokoh lain seperti Joko Widodo atau Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati. Ia menduga bahwa istilah rekonsiliasi nasional justru digunakan sebagai alat legitimasi untuk menyelesaikan konflik politik internal melalui jalur hukum.
Lebih lanjut, Zainal mengkritik praktik ini karena berpotensi menciptakan preseden buruk bagi sistem hukum dan politik Indonesia. Ia khawatir jika nanti Jokowi dihadapkan pada proses hukum, Presiden Prabowo bisa menggunakan amnesti yang sama.
Selain itu, Zainal juga menyebut bahwa amnesti dan abolisi dapat mengurangi ruang oposisi dan melemahkan demokrasi. Ia mengkhawatirkan bahwa semua politisi akan cenderung masuk ke lingkaran kekuasaan karena ada peluang untuk terlepas dari jerat hukum.
“Jika keretakan politik elit diselesaikan lewat amnesti dan abolisi dibiarkan, itu bahaya buat negara,” ujarnya.
Kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong
Hasto Kristiyanto terlibat dalam kasus suap terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 yang melibatkan calon legislatif Harun Masiku. Ia dinyatakan terbukti bersalah memberikan uang kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai bagian dari suap. Meski divonis hukuman penjara selama 3 tahun 5 bulan dan denda Rp 250 juta, ia dinyatakan tidak terbukti menghalangi penyidikan.
Sementara itu, Tom Lembong terjerat kasus impor gula yang merugikan negara sebesar Rp 194 miliar. Ia dituduh memberikan izin impor gula kristal mentah tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian terkait. Jaksa menilai Tom mengabaikan aturan yang dibuatnya sendiri, yakni Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015, yang menyatakan bahwa hanya BUMN yang boleh mengimpor gula kristal putih. Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 4,6 tahun penjara dan denda Rp 750 juta kepada Tom Lembong. Namun, Presiden Prabowo memberikan abolisi sehingga proses hukumnya dihentikan.
Amnesti dan Abolisi: Sah Secara Hukum, Tapi Minim Transparansi
Amnesti dan abolisi merupakan dua bentuk pengampunan atau penghentian proses hukum pidana yang memiliki perbedaan mendasar. Keduanya menjadi hak prerogatif presiden. Peneliti Caksana Institute, Hanifah Febriani, menjelaskan bahwa amnesti berasal dari kata Yunani "amnestia" yang berarti "melupakan". Secara hukum, amnesti dilekatkan kepada seseorang yang telah dianggap bersalah, tetapi kesalahannya diampuni oleh negara melalui keputusan presiden.
Sedangkan abolisi adalah penghapusan pidana karena yang bersangkutan dianggap tidak bersalah. Baik amnesti maupun abolisi bisa diberikan saat proses hukum masih berlangsung, berbeda dengan grasi yang diberikan kepada terpidana setelah vonis inkrah.
Dalam konteks hukum Indonesia, dasar pemberian amnesti dan abolisi ada dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi, Hanifah menyoroti kurangnya aturan pelaksana yang secara terperinci mengatur tata cara pemberiannya, termasuk batas dan jenis tindak pidana yang dapat memperoleh amnesti atau abolisi.
Ia juga menyoroti lemahnya transparansi dan objektivitas dalam proses pemberian amnesti dan abolisi karena hanya berdasarkan pertimbangan DPR yang terbatas mekanismenya, berbeda dengan pengadilan yang bersifat terbuka dan dapat diuji secara publik. Hal ini menimbulkan preseden buruk dan bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum.
Hanifah menekankan perlunya regulasi baru yang sedang dirancang untuk mengatur amnesti dan abolisi, termasuk menetapkan batasan tindak pidana yang bisa diberikan amnesti atau abolisi guna menjaga kepastian hukum dan integritas peradilan.
Zainal Arifin Mochtar menambahkan bahwa amnesti dan abolisi secara etis harus memiliki basis yang jelas dan tujuan rekonsiliasi yang nyata, bukan hanya sebagai alat politik. Ia menegaskan bahwa parameter yang jelas dan limitasi untuk kasus tertentu harus diterapkan, terutama dalam kasus korupsi.