Air Mata Megawati: Kritik untuk KPK, Pujian untuk Prabowo

Megawati Mengungkap Kekhawatiran di Kongres PDI Perjuangan
Di bawah cahaya terang panggung Kongres ke-6 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Megawati Soekarnoputri berdiri tegak. Matanya mengarah ke barisan kader partai yang hadir di Bali Nusa Dua Convention Center. Suaranya bergetar, bukan karena usia, tetapi karena perasaan yang dalam: kemarahan dan kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan.
Dalam pidatonya, ia menyampaikan pernyataan yang menggema ke seluruh ruangan: "Saya merasa aneh loh, masa urusan begini saja Presiden harus turun tangan. Coba pikirkan." Kalimat ini bukan sekadar sindiran, melainkan sebuah elegi politik yang ditujukan pada lembaga yang dulu ia dirikan sendiri: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasto, Keadilan, dan Amnesti
Tidak jauh dari panggung, Hasto Kristiyanto duduk di kursi kehormatan. Beberapa jam sebelumnya, Jumat 1 Agustus 2025, ia dibebaskan dari Lapas Cipinang setelah menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto—yang telah disetujui oleh DPR RI. Hasto tidak keluar tanpa luka. Ia sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena dinilai menghalangi penyidikan kasus suap eks Komisioner KPU. Namun, bagi Megawati, kasus itu hanyalah satu bagian dari ketidakadilan yang lebih luas.
Ia berbicara dengan keras kepada para penegak hukum yang tidak hadir, tetapi seakan ia ajak untuk berdiri di ruang itu. "Apakah kalian tidak punya anak-anak? Tidak punya saudara?" tanyanya. "Kalau diperlakukan seperti itu, lalu bagaimana, di mana kalian mencari keadilan yang hakiki?"
Tangis Pemimpin, Pesan untuk Negara
Banyak orang tidak tahu kapan air mata Megawati mulai jatuh. Kamera menyorot wajahnya yang penuh pengalaman, tetapi melembut saat menatap Hasto. Bagi Megawati, Hasto bukan hanya Sekjen partai, tetapi juga simbol dari luka kolektif yang dipendam PDIP selama bertahun-tahun berhadapan dengan politik hukum yang tidak selalu netral.
Meskipun tidak menyebut nama secara langsung, semua orang tahu arah sindirannya mengarah ke KPK, institusi anti-rasuah yang kini dianggap banyak kalangan telah kehilangan tajinya. Ia, sang pendiri KPK, kini harus menyaksikan lembaga itu dipertanyakan—dan lebih menyakitkan lagi, sampai-sampai Presiden sendiri harus turun tangan untuk membenahi keadilan yang macet.
Prabowo, Politik Baru dan Jalan Tengah?
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto secara politik dianggap sebagai langkah berani dan strategis. Seolah menyiratkan bahwa negara tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menimbang keadilan. Amnesti itu menjadi penanda zaman, menunjukkan bahwa Prabowo kini berdiri bukan semata sebagai eks jenderal yang tegas, tetapi juga kepala negara yang mampu membaca suhu politik dan rasa publik.
Kehadiran Hasto di kongres—kurang dari 24 jam setelah ia bebas—menjadi semacam deklarasi diam bahwa PDIP belum mati, dan bahwa luka politik bisa sembuh, asal keadilan berpihak.
Narasi yang Belum Usai
Air mata Megawati di Kongres PDIP bukanlah air mata biasa. Ia membawa pesan bahwa politik bukan hanya tentang menang dan kalah, tetapi juga tentang rasa keadilan yang menyentuh rumah-rumah rakyat. Ia membawa ingatan bahwa hukum tidak bisa dibajak oleh kekuasaan, dan sebaliknya, kekuasaan tidak boleh tinggal diam melihat hukum kehilangan nuraninya.
Dan Megawati tahu betul, cerita ini belum selesai. Karena sebagaimana sejarah mencatat kelahiran KPK dari tangan dinginnya, kini sejarah juga mencatat bahwa sang ibu bangsa itu tak tinggal diam ketika lembaga yang ia lahirkan mulai kehilangan arah.