Akhirnya Terungkap: 5 Pemain Judi Rugikan Bandar, Tidak Ada yang Melapor
Penangkapan 5 Pemain Judi Online di Sleman: Tantangan dan Kekhawatiran Masyarakat
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berhasil menangkap lima orang yang terlibat dalam kegiatan judi online. Kejadian ini terjadi setelah adanya laporan masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan. Namun, pihak RT setempat menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar keluhan dari warga sekitar. Hal ini memicu pertanyaan tentang asal usul laporan tersebut.
Lima tersangka yang ditangkap adalah RDS (32), NF (25), EN (31), DA (22), dan PA (24). Mereka dituduh menggunakan 40 akun berbeda setiap harinya untuk merugikan bandar judi online. Dengan modus seperti ini, para pelaku bisa memanfaatkan promo dan cashback yang disediakan situs judi online. Tindakan ini dilakukan secara terorganisir dan berlangsung selama satu tahun di Yogyakarta.
Menurut AKBP Slamet Riyanto, penangkapan ini bermula dari informasi awal yang datang dari warga. Setelah itu, pihak kepolisian melakukan pengembangan informasi bersama dengan intelijen. Meskipun demikian, banyak orang bertanya-tanya apakah pelapor dalam kasus ini adalah bandar judi yang merasa dirugikan.
Polda DIY menegaskan bahwa mereka siap menangani semua pelaku kejahatan digital, termasuk bandar hingga pemodal. "Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak," ujar AKBP Slamet. Namun, tanggapan dari warga setempat justru berbeda.
Ketua RT setempat, Sutrisno, mengungkapkan bahwa tidak ada keluhan dari warga mengenai aktivitas mencurigakan di rumah kontrakan di Plumbon, Bagnuntapan, Sleman. Bahkan, tetangga sebelah rumah kontrakan tersebut tidak tahu adanya aktivitas tersebut. Sutrisno juga mengaku tidak pernah menerima laporan atau keluhan dari warga soal kegiatan judi di kontrakan tersebut.
Anggota DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyoroti penangkapan lima pelaku yang diduga mengakali sistem dan merugikan bandar judi online oleh Polda DIY. Menurutnya, penanganan kasus ini tidak hanya janggal, tetapi juga membuat publik bertanya-tanya soal arah penegakan hukum terhadap kejahatan digital yang masif dan terorganisir.
Sudding menilai bahwa penangkapan terhadap lima pelaku justru membuka fakta bahwa sistem judol itu sendiri beroperasi secara ilegal. Ia menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak boleh diskriminatif dalam menangani kasus dengan dampak sosial dan ekonomi yang luas seperti judi online.
Selain itu, data dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menunjukkan bahwa dana konsumsi masyarakat senilai Rp 51 triliun tersedot ke judi online sepanjang 2024. Aliran dana ini bukan hanya memukul ekonomi rumah tangga, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian nasional.
Firman Hidayat, anggota DEN, menjelaskan bahwa fenomena judi online telah mengalihkan alokasi belanja produktif masyarakat ke aktivitas konsumtif yang tidak berdampak positif bagi pembangunan. Studi internal DEN dan BPS mencatat adanya penurunan 30 persen belanja pendidikan di kalangan keluarga pecandu judi online.
Direktur Eksekutif Katadata Insight Center (KIC), Fakhridho Susrahardiansyah, memaparkan bahwa sebagian besar pecandu judol mengalami ketergantungan ganda. Sebanyak 70 persen pecandu judol mengonsumsi narkoba agar bisa bermain lebih lama. Gejala depresi berat dialami oleh 60 persen pasien pecandu judol, dan 15 persen di antaranya pernah mencoba bunuh diri.
Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menilai bahwa pendekatan keagamaan dan edukasi publik menjadi kunci pencegahan. Fransiska Oei dari Perbanas mengusulkan pendekatan seperti yang diterapkan di Malaysia, yang mengedepankan edukasi berbasis nilai agama. Selain itu, ia mendorong agar bahaya judol masuk dalam kurikulum sekolah, serta diterbitkannya regulasi tegas terhadap iklan judol yang kerap menyamar sebagai game online di berbagai platform digital.
Kehilangan potensi pajak sebesar Rp 6,4 triliun akibat aktivitas ilegal ini hanya satu sisi dari persoalan. Ancaman terbesarnya justru terletak pada menurunnya kualitas manusia Indonesia yang seharusnya menjadi fondasi pertumbuhan jangka panjang.