Arah Bursa Saham AS Terkunci Data Inflasi Minggu Ini

Persiapan Pasar Saham AS Menghadapi Uji Kenaikan Inflasi
Pekan depan akan menjadi ujian bagi laju reli bursa saham Amerika Serikat (AS). Investor memperkirakan potensi koreksi setelah pasar mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Indeks S&P 500 telah mencatat pertumbuhan lebih dari 8% sepanjang tahun ini, sementara indeks teknologi Nasdaq Composite juga berhasil mencetak rekor baru.
Beberapa analis, termasuk dari Deutsche Bank dan Morgan Stanley, menyoroti risiko koreksi setelah reli yang hampir tanpa gangguan selama empat bulan terakhir. Mereka mengkhawatirkan valuasi saham yang sudah sangat tinggi secara historis. Selain itu, musim Agustus dan September sering kali menjadi periode yang tidak menguntungkan bagi pasar saham.
Laporan indeks harga konsumen (CPI) AS untuk Juli, yang akan dirilis pada Selasa, diperkirakan menjadi pemicu volatilitas. Jika inflasi lebih tinggi dari perkiraan, hal ini bisa mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).
Dominic Pappalardo, Chief Multi-Asset Strategist di Morningstar Wealth, menyatakan bahwa pasar saat ini berada dalam posisi siap terkoreksi. Ia menilai ada banyak kekhawatiran yang tersembunyi di bawah permukaan.
Sejak menyentuh titik terendah tahun ini pada April, S&P 500 telah melonjak 28%. Kekhawatiran akan resesi akibat tarif mereda setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan “Liberation Day” bulan itu. Meski demikian, volatilitas ekstrem sempat terjadi di pasar.
S&P 500 kini diperdagangkan di level lebih dari 22 kali estimasi laba 12 bulan ke depan, jauh di atas rata-rata jangka panjang 15,8 kali. Ini merupakan valuasi tertinggi dalam lebih dari empat tahun terakhir.
Faktor musiman juga menjadi perhatian. Berdasarkan Stock Trader’s Almanac, dalam 35 tahun terakhir, Agustus dan September menjadi bulan dengan kinerja terburuk bagi S&P 500, dengan penurunan rata-rata masing-masing 0,6% dan 0,8%.
Michael Wilson, Equity Strategist Morgan Stanley, menulis bahwa kombinasi data tenaga kerja yang melemah dengan kekhawatiran inflasi akibat tarif bisa menjadi resep untuk terjadinya koreksi. Meskipun begitu, ia tetap optimistis dalam jangka 12 bulan dan berencana membeli saham saat harga turun.
Survei menunjukkan bahwa CPI Juli diperkirakan naik 2,8% secara tahunan. Investor akan mengamati apakah tarif impor yang diberlakukan Trump memicu kenaikan harga. Laporan CPI Juni menunjukkan adanya dampak tarif pada sejumlah barang.
Taruhan pasar atas pemangkasan suku bunga The Fed semakin kuat setelah data tenaga kerja yang lemah. Fed funds futures menunjukkan peluang lebih dari 90% bahwa bank sentral akan memangkas suku bunga pada pertemuan September, dan setidaknya dua kali sepanjang tahun ini.
Namun, skenario ini bisa terganggu jika CPI lebih tinggi dari perkiraan, sehingga membuat The Fed lebih berhati-hati dalam memangkas suku bunga. Angelo Kourkafas, Senior Investment Strategist di Edward Jones, menyatakan bahwa jika CPI menunjukkan pasar terlalu optimistis, volatilitas bisa meningkat. Namun, jika tidak lebih buruk dari perkiraan, ini bisa memperkuat keyakinan bahwa kita berada di titik balik kebijakan The Fed.
Prospek kenaikan tarif dan dampak ekonominya terus menjadi bayang-bayang bagi pasar. Meskipun demikian, indeks saham tetap mencetak rekor tertinggi. Kenaikan tarif impor dari puluhan negara mulai berlaku, mendorong bea masuk rata-rata AS ke level tertinggi dalam satu abad. Trump juga mengumumkan rencana pengenaan tarif pada chip semikonduktor dan impor farmasi.
China berpotensi menghadapi kenaikan tarif baru pada Selasa kecuali Trump memperpanjang gencatan dagang yang sudah ada. Matt Rowe, Senior Portfolio Manager di Man Group, menyebut bahwa pasar tampaknya mengabaikan potensi dampak negatif dari gesekan ini terhadap ekonomi. Menurutnya, pasar sudah merasa nyaman dengan tarif seolah-olah itu bukan masalah, padahal menurutnya itu keliru.