Astaga! Jepang Kena Ancaman Krisis Beras, Ini Penyebabnya

Featured Image

Ancaman Kekurangan Beras di Jepang Akibat Cuaca Ekstrem

Cuaca ekstrem yang terjadi di Jepang dalam beberapa bulan terakhir mulai menimbulkan kekhawatiran serius terhadap hasil panen padi. Wilayah-wilayah penghasil beras utama seperti Tohoku dan Hokuriku mengalami curah hujan terendah dalam sejarah selama Juli, sementara gelombang panas yang melanda pada bulan ini juga memecahkan rekor suhu tertinggi. Hal ini berpotensi mengganggu proses pertanian dan menyebabkan penurunan produksi beras.

Menurut Profesor emeritus spesialis kebijakan pertanian dari Universitas Miyagi, Kazunuki Ohizumi, cuaca ekstrem dapat memengaruhi waktu panen yang biasanya dimulai pada akhir musim panas. Dampaknya bisa memperburuk harga beras yang sudah meningkat sekitar 50% dibanding tahun lalu. Kenaikan harga ini memberi tekanan besar pada anggaran keluarga dan para pemimpin politik.

Kondisi ini juga memicu ketidakpuasan publik karena kenaikan biaya hidup yang semakin tinggi. Beberapa sekolah bahkan harus mengurangi penyajian beras sebagai menu makan siang, sementara toko dan restoran menaikkan harga hidangan berbahan dasar beras. Krisis beras ini tidak terlepas dari cuaca buruk yang terus-menerus mengganggu produksi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada awal musim panas ini, kekurangan beras memicu krisis nasional. Harga beras mencapai rekor tertinggi, sehingga memaksa banyak institusi untuk melakukan penyesuaian. Kekurangan beras ini juga dapat ditelusuri kembali ke musim panas 2023 yang sangat panas, yang menghasilkan hasil panen terendah dalam lebih dari satu dekade.

Perlu diketahui bahwa hasil panen yang buruk dapat memicu kritik terhadap Partai Liberal Demokratik yang berkuasa. Partai ini mengalami kekalahan historis dalam pemilihan majelis tinggi pada Juli, sebagian karena krisis beras. Meskipun demikian, jika tidak ada gangguan cuaca ekstrem, produksi beras di Jepang diperkirakan akan meningkat sekitar 8% menjadi 7,35 juta ton metrik.

Namun, cuaca ekstrem membuat situasi menjadi lebih tidak pasti. Sulit untuk memprediksi hasil panen secara akurat. Beberapa ahli percaya bahwa upaya untuk meningkatkan luas lahan tanam dapat mengimbangi dampak cuaca ekstrem. Misalnya, Profesor dari Universitas Utsunomiya, Masayuki Ogawa, memperkirakan bahwa produksi beras akan meningkat karena luas lahan tanam yang diperluas.

Departemen Pertanian AS, yang membuat perkiraan global tentang produksi beras, saat ini memperkirakan produksi beras Jepang pada 2025 sebesar 7,28 juta ton. Meskipun angka ini hampir sama dengan tahun sebelumnya, data menunjukkan bahwa ini akan menjadi panen terkecil sejak 2003.

Ogawa juga menjelaskan bahwa harga beras ditentukan sebagian besar oleh kontrak awal. Namun, dengan ketidakpastian pasokan dan permintaan, harga kemungkinan akan naik pada akhirnya.

Situasi di Jepang berbeda dengan negara-negara lain di Asia yang mengalami peningkatan pasokan dan penurunan harga beras. Harga beras acuan Asia telah turun ke level terendah dalam hampir delapan tahun, memberi rasa lega bagi miliaran orang yang mengonsumsi beras setiap hari.

Jepang memiliki kebijakan impor beras yang sangat ketat untuk melindungi industri dalam negerinya. Hanya 770.000 ton beras bebas bea yang diimpor setiap tahun, sedangkan impor di luar kuota tersebut dikenakan bea masuk sebesar ¥341 (US$2,30) per kilogram.

Meskipun harga beras di supermarket telah turun dari puncaknya, pemerintah sedang mencari solusi jangka panjang—tidak hanya untuk peristiwa cuaca terbaru, tetapi juga untuk ancaman perubahan iklim yang bisa mengganggu industri beras yang menjadi kebanggaan negara.

Dalam perubahan kebijakan yang telah berlaku puluhan tahun, Perdana Menteri Shigeru Ishiba baru-baru ini mendorong petani untuk mengabaikan batas produksi beras dan meningkatkan penanaman. Pemerintah telah membentuk tim tugas dan mengerahkan truk air untuk membantu irigasi tanaman.

Selain itu, Jepang kini menanam beras di daerah yang dulu dianggap terlalu dingin untuk budidaya. Pulau Hokkaido di utara telah menjadi wilayah produsen terbesar kedua setiap tahun sejak 2018, dan memiliki produksi per unit area yang lebih tinggi daripada produsen utama, Prefektur Niigata.