Beda Nasib Prada Lucky, Mantan Kabais Bocorkan Pengalaman Dipelihara: Tapi Ini Kelewat Batas

Budaya Perpeloncoan di TNI yang Terlalu Berlebihan
Perpeloncoan di lingkungan militer sering kali dianggap sebagai bagian dari proses adaptasi seorang prajurit baru. Namun, dalam kasus Prada Lucky Chepril Saputra Namo, kejadian tersebut justru berujung pada kematian. Hal ini memicu perhatian besar terhadap cara pengelolaan dan pengawasan di dalam TNI.
Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis, menyampaikan bahwa perpeloncoan memang menjadi bagian dari budaya di TNI. Ia mengatakan bahwa hal ini biasanya dialami oleh para prajurit yang baru saja dilantik. Termasuk Prada Lucky yang baru dua bulan menjalani tugasnya sebagai tentara.
“Memang ada kalanya itu adalah sebuah suatu budaya di kita ya militer, ada yang baru masuk, istilah dulu itu perpeloncoan, dipelonco lah seperti itu,” ujarnya. Meski demikian, ia menegaskan bahwa apa yang terjadi pada Prada Lucky sudah melewati batas.
“Tapi ini sepertinya sudah terlewat, sudah melewati batas. Jadi hal begitu itu ada batas-batasnya yang harus dijaga betul,” kata Soleman. Menurutnya, setiap atasan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua proses dilakukan dengan baik dan tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan.
Soleman juga mengakui bahwa dirinya sendiri pernah mengalami perpeloncoan saat menjadi prajurit muda. Namun, ia menekankan bahwa itu tetap dalam batas yang wajar. “Saya juga merasakan bagaimana pentaatan seperti itu, boleh dibilang ada perpeloncoan, tetapi itu dalam batas,” katanya.
Menurutnya, batas tersebut akan tercapai jika atasan mampu mengawasi bawahannya dengan baik. Oleh karena itu, ia mempertanyakan kinerja atasan dari Prada Lucky, termasuk Komandan Peleton (Danton), yang seharusnya bisa mengontrol situasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kasus kematian Prada Lucky disayangkan oleh banyak pihak, terutama karena ini bukan pertama kalinya kejadian serupa terjadi di lingkungan TNI. “Sangat disayangkan, bayangkan sudah susah-susah dilatih, sudah susah-susah dipilih, lalu mati sia-sia hanya karena sekedar memperlihatkan bagaimana budaya yang ada di dalam,” ujar Soleman.
Ia menilai, kejadian ini menjadi peringatan bagi seluruh pimpinan prajurit yang bertanggung jawab atas anak buahnya. “Gigit-gigitan seperti ini adalah hal yang biasa memang, tetapi harus ada pengawasan, harus ada batas, tapi ini kan batas dilewati,” katanya.
“Artinya tidak ada pengawasan, maka yang atas pun harus ikut bertanggung jawab. Kalau tidak ada, maka ke depan akan berulang kembali,” tambahnya.
Sub Denpom IX/1-1 Ende sedang melakukan penyelidikan terkait dugaan penganiayaan terhadap Prada Lucky Namo, anggota Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Wakanga Mere yang meninggal dunia pada 6 Agustus 2025. Saat ini, pihak Sub Denpom telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan meminta keterangan dari anggota Batalyon lainnya yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Dansub Denpom Ende, Kapten CPM Stefanus Kopong Ola, menyatakan bahwa pihaknya berupaya secepat mungkin menyelesaikan penyidikan. “Intinya kami lagi bekerja biar cepat selesai dalam kasus penyidikan, yang jelas kalau ada yang berbuat kan pasti bertanggungjawab,” ujarnya.
Di sisi lain, ibu korban, Seprina Paulina Miprey, menuntut keadilan atas kematian putranya. Anaknya yang baru dua bulan dilantik menjadi tentara, berhasil lolos delapan kali tes masuk TNI. Namun, nasib buruk menghampirinya. “Saya seorang ibu, saya minta keadilan, saya pu anak sudah mati sia-sia. Mati di medan perang saya terima, itu tugas dia bela negara, ini mati sia-sia di tangan seniornya. Proses mereka ! , pecat !, bila perlu hukuman mati !,” ungkapnya.