Darurat Pendidikan: 13 Ribu Anak di KBB dan Cianjur Terancam Putus Sekolah, Pemprov Jadi Solusi Cepat

Krisis Pendidikan yang Mengancam Masa Depan Generasi Muda Jawa Barat
Di tengah perubahan yang terus berlangsung, sebuah krisis pendidikan diam-diam mengancam masa depan ribuan generasi muda di Jawa Barat. Data terbaru menunjukkan angka yang mencemaskan: sebanyak 13.096 anak lulusan SMP di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat (KBB) tidak melanjutkan sekolah ke jenjang menengah pada tahun ajaran 2025. Angka ini meningkat tajam dari 8.465 anak pada tahun sebelumnya, menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat.
Peningkatan signifikan ini menunjukkan adanya masalah yang semakin memburuk. Kondisi ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga memicu pertanyaan tentang bagaimana menghadapi tantangan tersebut. Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya mengambil langkah darurat dengan menambah kuota siswa per kelas. Namun, kebijakan ini memunculkan dilema antara upaya penyelamatan kuantitas dan potensi pengorbanan kualitas pendidikan.
Angka yang Mengkhawatirkan: Kesenjangan Akses Pendidikan
Data yang diperoleh dari Kantor Cabang Dinas (KCD) Wilayah VI Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa ada jurang besar antara jumlah lulusan SMP/MTs dengan mereka yang berhasil mendaftar ke sekolah negeri. Di Kabupaten Bandung Barat, dari total 29.226 lulusan, sebanyak 12.262 siswa tidak mendaftar ke SMA/SMK negeri. Sementara itu, di Kabupaten Cianjur, dari 47.192 lulusan, sebanyak 27.113 siswa tidak mendaftar ke sekolah negeri.
Meskipun pintu sekolah swasta terbuka, faktanya menunjukkan bahwa angka anak tidak melanjutkan sekolah (ATS) tetap tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya yang diperlukan untuk pendidikan di sekolah swasta sering kali tidak terjangkau bagi banyak keluarga di wilayah tersebut.
Akar Masalah: Kenapa Ribuan Anak "Menghilang" Setelah Lulus SMP?
Lonjakan angka ATS dari 8.465 menjadi 13.096 dalam setahun menunjukkan adanya persoalan mendasar yang kian memburuk. Fenomena ini tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan kombinasi kompleks dari berbagai tantangan.
Faktor ekonomi menjadi alasan utama. Bagi keluarga prasejahtera, biaya seperti seragam, transportasi, dan buku seringkali menjadi penghalang yang tak teratasi, bahkan jika sekolahnya gratis. Banyak anak yang terpaksa memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga ketimbang melanjutkan pendidikan.
Selain itu, penyebaran sekolah negeri yang belum merata juga menjadi masalah. Jarak yang terlalu jauh dari rumah membuat akses pendidikan menjadi sulit dan mahal, terutama di daerah-daerah pedesaan Cianjur dan KBB. Kombinasi antara keterbatasan ekonomi dan akses inilah yang menciptakan "badai sempurna" yang memaksa ribuan anak keluar dari sistem pendidikan formal.
Solusi Darurat Pemprov Jabar: Menambah Kuota Rombel
Menghadapi situasi darurat ini, Pemprov Jawa Barat mengeluarkan kebijakan yang berani. Kebijakan ini bertujuan untuk menyerap sebanyak mungkin siswa agar tidak ada yang tercecer. Salah satu implementasi utamanya adalah penambahan jumlah anggota rombongan belajar (rombel) atau siswa per kelas.
Sejumlah sekolah negeri diizinkan menerima siswa hingga batas maksimal 45-46 orang per kelas, jauh di atas standar ideal 32-36 siswa. Sebanyak 12 SMA/SMK negeri di KCD Wilayah VI menerima sebanyak 45-46 siswa. Selebihnya, sekitar 61 sekolah memiliki jumlah siswa bervariasi antara 32-36 siswa per rombel.
Jalan Pintas yang Dilematis: Antara Kuantitas dan Kualitas
Langkah Pemprov ini didasari oleh amanat konstitusi pada Pasal 31 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Dari perspektif ini, kebijakan menambah kuota kelas adalah upaya mulia untuk memastikan tidak ada anak yang haknya terabaikan.
Namun, solusi darurat ini ibarat pedang bermata dua. Para pemerhati pendidikan mengkhawatirkan dampak dari "gemuknya" rombel terhadap kualitas proses belajar-mengajar. Dengan 46 siswa dalam satu kelas, beban guru menjadi sangat berat. Ruang bagi perhatian individual terhadap siswa menjadi sangat sempit, dan potensi penurunan kualitas output pendidikan menjadi risiko yang nyata.
Kebijakan ini memunculkan dilema besar: apakah lebih baik menampung semua anak dalam kelas yang sangat padat, atau membiarkan ribuan anak putus sekolah demi menjaga kualitas ideal bagi mereka yang berhasil masuk?