Dijuluki Bapak Demokrasi, Ini Pujian Mantan Napi yang Menghina Jokowi untuk Prabowo

Pernyataan Mengejutkan dari Mantan Narapidana yang Diberi Amnesti
Yulian Paonganan, yang dikenal dengan nama panggilan Ongen, mantan narapidana terkait kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), melontarkan pernyataan yang mengejutkan setelah menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Dalam wawancara yang dilakukan di sebuah kafe di Jakarta Selatan, Ongen menyampaikan pandangan mendalam tentang sosok Prabowo yang dinilainya pantas disebut sebagai "Bapak Demokrasi Indonesia".
Menurut Ongen, Prabowo layak menyandang gelar tersebut karena konsistensinya dalam menjunjung prinsip demokrasi dan rekonsiliasi nasional. Ia menekankan bahwa meskipun Prabowo adalah jenderal lulusan Orde Baru dan menantu dari Presiden Soeharto, ia tetap menunjukkan dedikasi luar biasa terhadap nilai-nilai demokratis dalam perjalanan politiknya.
Setelah mengalami “pengasingan” politik di Jordania pasca reformasi, Prabowo tidak memilih jalur instan atau kekuasaan cepat. Ia justru membangun kekuatan politik dari bawah dengan mendirikan Partai Gerindra. Meski beberapa kali gagal dalam pemilihan presiden, Prabowo selalu menerima hasil secara demokratis dengan sikap kenegarawanan yang langka di tengah dinamika politik nasional.
“Beliau tidak pernah menggunakan cara-cara anarkis atau inkonstitusional. Justru beliau menerima kekalahan dengan jiwa besar dan elegan. Itu menunjukkan kematangan dan komitmennya terhadap demokrasi yang sesungguhnya,” ujar Ongen.
Kini, ketika Prabowo resmi menjadi Presiden, publik menyaksikan gaya kepemimpinannya yang kuat, tegas, namun juga penuh kasih dan merangkul. Di tengah tantangan bangsa, ia menjunjung tinggi prinsip persatuan nasional, fondasi penting untuk menjaga keutuhan negara.
Langkah monumental Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi kepada lebih dari seribu narapidana politik dan hukum menjadi bukti nyata sikap kenegarawanan yang tinggi. Terutama saat ia mengabulkan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi bagi Thomas Lembong, dua figur yang sebelumnya berseberangan secara politik.
“Ini bukan hanya langkah hukum, ini adalah sejarah baru dalam wajah demokrasi kita. Meski masih ada saja yang nyinyir, rakyat yang jernih akan tahu bahwa ini bukti seorang pemimpin yang memikirkan rekonsiliasi, bukan rivalitas,” kata Ongen.
Ia juga menambahkan, setiap pemimpin tentu memiliki kekurangan. Namun, menilai seorang pemimpin harus dilakukan secara komprehensif dan holistik.
“Dari semua sisi itu, saya melihat Prabowo adalah pemimpin masa depan sekaligus penjaga warisan demokrasi masa kini.”
Sebagai sosok yang lama berada di bawah asuhan idiologis Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Ongen menilai bahwa garis demokrasi yang ditegakkan oleh SBY kini diteruskan oleh Prabowo dengan cara yang bahkan lebih berani dan menjangkau.
“Saya mendukung Prabowo sejak awal karena melihat komitmen ideologisnya. Bukan hanya soal menang atau kalah, tapi bagaimana dia menjaga mimpi besar bangsa ini untuk tetap demokratis, damai, dan bersatu. Beliau adalah simbol dari semangat rekonsiliasi nasional,” kata Ongen.
Kasus Penghinaan terhadap Jokowi
Sebelum diberi amnesti oleh Prabowo, Yulianus Paonganan alias Ongen sempat terjerat kasus penghinaan terhadap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2015 silam. Dikutip dari pemberitaan pada 18 Desember 2015, Yulianus pertama kali resmi ditetapkan menjadi tersangka penghinaan Jokowi oleh Bareskrim Polri.
Adapun penghinaan tersebut dilakukannya melalui postingan di akun Facebook dan Twitter (kini X). Pada unggahannya itu, dia menyebarkan foto Jokowi yang duduk bersama artis, Nikita Mirzani. Lalu, pada foto tersebut, Ongen turut menambahkan tagar #papadoyanl***e. Tagar tersebut pun dituliskan Ongen sebanyak 200 kali.
Polisi pun menganggap tagar tersebut mengandung unsur pornografi dan membuat Ongen dijerat Pasal 4 ayat (1) huruf a dan e UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain itu, dia juga dijerat Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Singkat cerita, pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 10 Mei 2016, Ongen diputus bebas saat sidang ketiga dengan agenda putusan sela. Saat itu, hakim menerima keberatan dari kuasa hukum Ongen.
Namun, saat itu, Ongen hanya dinyatakan terlepas dari perbuatan sebagaimana yang didakwaan jaksa. Pasalnya, dalam sidang tersebut, belum masuk pada substansi perkara.
Pemeriksaan perkara belum masuk pada substansi materi perkara yang perlu dibuktikan apakah terdakwa terbukti bersalah sesuai perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum, atau sebaliknya.
Setelah putusan hakim itu, jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Namun, putusan tersebut justru diperkuat oleh hakim PT DKI Jakarta dalam nomor putusan 157/PID/2016.PT DKI tertanggal 23 Juni 2016.
Hanya saja, jaksa kemudian menyerahkan surat dakwaan baru ke PN Jakarta Selatan setelah putusan banding tersebut dibacakan. Namun, dalam sidang kali ini, Ongen dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Lalu, Ongen pun mengajukan banding ke PT DKI Jakarta dan berujung ditolak berdasarkan putusan Nomor 157/PID/2016/PT DKI tertanggal 23 Juni 2019. Selanjutnya, pihak Ongen mengajukan kasasi dan tetap berujung ditolak oleh MA berdasarkan putusan Nomor 3265 K/Pid.Sus/2019 tertanggal 31 Oktober 2019.