Dua Tokoh Eks KPK Kritik Kebijakan Prabowo, Hasto dan Novel Baswedan Disoroti

Kritik terhadap Pemberian Amnesti kepada Hasto Kristiyanto
Pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menuai berbagai reaksi dari sejumlah pihak. Salah satu yang menyampaikan kritik adalah mantan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Novel Baswedan dan Lakso Anindito. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak serius dalam memberantas korupsi.
Pendapat Novel Baswedan
Melalui unggahan di akun Instagram-nya, Novel Baswedan menyatakan kekhawatirannya terhadap penggunaan amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi. Ia menganggap hal ini sebagai pelemahan serius terhadap semangat pemberantasan korupsi. "Korupsi adalah kejahatan serius dan bentuk pengkhianatan terhadap negara. Ketika penyelesaian hukum dilakukan secara politis, ini akan menjadi preseden buruk," ujarnya.
Novel menyoroti perbedaan antara kasus Thomas Trikasih Lembong yang mendapat abolisi dengan kasus Hasto. Menurutnya, dalam kasus Lembong tidak ada cukup bukti untuk melanjutkan proses hukum. Namun, dalam kasus Hasto, terdapat jejak hukum yang kuat dan melibatkan banyak pihak. Ia juga mengingatkan bahwa kasus ini sempat mandek karena peran kontroversial mantan Ketua KPK Firli Bahuri serta pemecatan penyidik KPK lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Amnesti ini membuat kasus Hasto tak tuntas dan tak adil. Bagaimana dengan pelaku lain yang masih buron atau sudah dihukum?" tanya Novel. Ia juga menegaskan bahwa langkah Prabowo ini bertentangan dengan pidatonya sendiri tentang "menyikat habis korupsi."
Tanggapan Lakso Anindito
Lakso Anindito, eks penyidik KPK yang kini menjabat Ketua IM57+ Institute, juga mengkritik keputusan Prabowo. Ia menganggap kebijakan tersebut sebagai kemunduran serius dalam penegakan hukum. "Pemberian amnesti ini justru membuktikan Presiden tak punya komitmen nyata terhadap pemberantasan korupsi," ujarnya.
Lakso menjelaskan bahwa pengungkapan kasus Hasto memerlukan waktu panjang karena tingginya risiko intervensi politik. Ia juga menyebut bahwa banyak penyidik KPK diberhentikan secara sepihak akibat kasus ini. "Penyelesaian kasus korupsi seperti ini melalui meja politik adalah pengkhianatan terhadap rakyat dan hukum," tegasnya.
Ia mendorong publik untuk melakukan penolakan terhadap amnesti Hasto secara terbuka. Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk "pengakalan hukum" yang mencederai janji-janji antikorupsi.
Respons Hasto Kristiyanto
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, memberikan respons penuh hormat terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberinya amnesti atas vonis 3,5 tahun penjara. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada 25 Juli 2025 terkait kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota Fraksi PDIP DPR.
Hasto menyatakan bahwa pemberian amnesti merupakan bentuk komitmen Presiden dalam mendengarkan tuntutan keadilan di masyarakat. "Saya menghormati keputusan amnesti Presiden Prabowo dan mengucapkan terima kasih atas keputusan yang telah mendengarkan perjuangan keadilan," ujar Hasto.
Sebagai bentuk penghormatan atas keputusan tersebut, Hasto memastikan tidak akan mengajukan banding atas vonisnya. Ia menyebut langkah ini sudah melalui konsultasi dengan kuasa hukum, dan diambil sebagai bentuk integritas serta penghargaan terhadap kepala negara.
Penjelasan KPK Terkait Status Hasto
Meski hukuman Hasto akan dihapus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa amnesti tidak menghilangkan status pidananya. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengatakan bahwa Hasto tetap dinyatakan bersalah secara hukum. "Amnesti tidak menghapus perbuatan pidana. Yang diampuni hanyalah pelaksanaan hukumannya," ujarnya.
Johanis menambahkan bahwa amnesti adalah pengampunan terhadap hukuman yang merupakan hak prerogatif Presiden, bukan pembatalan atas putusan pengadilan. Dengan demikian, status hukum Hasto tetap melekat meskipun ia bebas dari pelaksanaan pidana. "Hanya hukumannya saja yang diampuni sehingga hukumannya tidak dilaksanakan atau dihapus," sambung Johanis.
Dalam konteks hukum, penegasan KPK ini penting untuk mencegah interpretasi keliru yang berpotensi merusak kredibilitas lembaga peradilan. Lembaga antirasuah tersebut ingin memastikan bahwa publik memahami perbedaan antara pengampunan hukum dan penghapusan kesalahan pidana.
Johanis juga menyatakan bahwa KPK akan segera membebaskan Hasto dari tahanan begitu Surat Keputusan Amnesti diterima secara resmi. "Segera setelah KPK menerima Surat Keputusan Amnesti dari Presiden yang telah mendapat persetujuan dari DPR RI, maka yang bersangkutan dikeluarkan dari tahanan," ujarnya.
Namun hingga Jumat siang, surat tersebut belum diterima KPK. "Sampai saat ini belum," kata Johanis, merespons pertanyaan mengenai perkembangan administrasi amnesti. Langkah KPK yang menunggu keputusan administratif menegaskan pentingnya prosedur hukum yang presisi. Mereka tidak akan melangkah sebelum dokumen resmi diterima, menunjukkan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.