Editorial: Rekonsiliasi Kekuasaan: Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa

Reaksi terhadap Keputusan Pemberian Amnesti kepada Hasto Kristiyanto
Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menimbulkan berbagai respons dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa politikus PDIP mengapresiasi tindakan tersebut sebagai bentuk kebijaksanaan dan semangat rekonsiliasi dalam dinamika politik nasional.
Salah satu tokoh PDIP, Hardiyanto Kenneth, menyampaikan apresiasinya secara terbuka. Ia menilai bahwa pemberian amnesti terhadap Hasto mencerminkan kedewasaan Presiden dalam menghadapi situasi politik yang kompleks. Kenneth menegaskan bahwa langkah ini merupakan bukti dari jiwa besar dan kesadaran akan pentingnya stabilitas nasional.
Namun, di sisi lain, sejumlah pengamat hukum dan demokrasi mempertanyakan kelayakan pemberian amnesti bagi tersangka korupsi. Mereka menilai bahwa tindakan ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem hukum di Indonesia.
Amnesti Koruptor: Solusi atau Kemunduran?
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemberian amnesti memang menjadi hak prerogatif Presiden. Namun, praktik pemberian amnesti kepada pelaku dugaan korupsi, seperti dalam kasus Hasto, dinilai sangat problematik. Pengamat hukum tata negara, Prof. Andika Surya, menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak layak diperlakukan sebagai pelanggaran biasa.
Menurut Andika, korupsi bukan sekadar tindak pidana administratif, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap publik. Ia menilai bahwa jika amnesti digunakan sebagai alat tukar politik, maka kita sedang melegalkan impunitas atas nama rekonsiliasi.
Dampak Kerusakan pada Masa Depan Hukum
Pemberian amnesti terhadap tersangka korupsi tidak hanya melemahkan sistem penegakan hukum, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa hukum bisa tunduk pada kekuasaan politik. Direktur Eksekutif Institute for Justice Reform, Rani Pramesti, menyebut beberapa potensi dampak dari keputusan ini:
- Menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
- Melemahkan efek jera terhadap pelaku korupsi.
- Menimbulkan ketimpangan hukum antara elite politik dan masyarakat umum.
Rani menegaskan bahwa jika para jaksa dan penyidik merasa kerja mereka sia-sia karena pelaku dibebaskan hanya karena pertimbangan politik, maka itu bukan rekonsiliasi, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan.
Ancaman bagi Demokrasi
Selain merusak sistem hukum, amnesti semacam ini juga mengancam substansi demokrasi. Dalam negara demokratis, setiap pejabat publik wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum. Jika elite politik bisa lolos dari proses hukum dengan dalih “rekonsiliasi nasional”, maka demokrasi berubah menjadi oligarki transaksional.
Pengamat politik dari UIN Jakarta, Dr. Bayu Alamsyah, menilai bahwa keputusan ini menjadi awal dari normalisasi impunitas. Impunitas terjadi ketika pelaku kejahatan tidak dihukum atau dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Ia mengingatkan bahwa jika hal ini tidak dikritisi, maka ke depan setiap pelaku korupsi cukup “berdamai” dengan kekuasaan untuk mendapatkan kebebasan. Demokrasi kita akan tereduksi menjadi arena barter kekuasaan dan perlindungan hukum.
Rekonsiliasi Tak Harus Lewat Amnesti Korupsi
Meskipun sebagian elite politik memuji keputusan pemberian amnesti sebagai bentuk kedewasaan berdemokrasi, bagi publik luas dan kalangan akademisi, keputusan ini menandai kemunduran serius dalam penegakan hukum dan etika demokrasi.
Rekonsiliasi sejati seharusnya berakar pada kebenaran, keadilan, dan pertanggungjawaban, bukan pada negosiasi kekuasaan yang mengorbankan integritas hukum.