Fakta Bola - Konflik 100 Jam El Salvador vs Honduras Akibat Kualifikasi Piala Dunia 1970

Featured Image

Latar Belakang Konflik: Perang Sepakbola yang Berdampak Luas

Pada Juli 1969, dua negara Amerika Tengah, El Salvador dan Honduras, terlibat dalam konflik militer singkat namun brutal yang akan selamanya terukir dalam sejarah. Pertikaian ini dikenal dengan nama yang dramatis: "Perang Sepakbola" atau "Perang 100 Jam". Nama tersebut melekat karena perang ini meletus persis setelah serangkaian pertandingan kualifikasi Piala Dunia FIFA 1970 yang penuh ketegangan antara tim nasional kedua negara, di mana sepakbola yang seharusnya menjadi ajang sportivitas justru menjadi panggung luapan kebencian nasionalis.

Namun, menyederhanakan konflik ini sebagai perang yang disebabkan oleh sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah kekeliruan besar. Meski laga-laga tersebut menjadi percikan yang menyulut api, para sejarawan sepakat bahwa "penyebab sebenarnya dari perang ini jauh lebih dalam". Akar masalahnya tertanam selama puluhan tahun dalam isu-isu yang kompleks, termasuk sengketa tanah, ketidakseimbangan demografis, migrasi massal, dan disparitas ekonomi yang menciptakan bom waktu sosial antara kedua negara bertetangga.

Akar Masalah: Tanah, Migrasi, Dan Ketegangan Sosial

Ketegangan yang meledak menjadi Perang Sepakbola pada 1969 berakar pada ketidakseimbangan fundamental antara El Salvador dan Honduras. El Salvador adalah negara terkecil di Amerika Tengah, namun memiliki populasi yang jauh lebih padat. Pada 1969, dengan luas wilayah kurang dari seperlima Honduras, populasi El Salvador mencapai 3,7 juta jiwa, sementara Honduras hanya 2,6 juta. Lebih parahnya lagi, El Salvador menderita ketidaksetaraan kepemilikan tanah yang ekstrem. Sebagian besar lahan subur dikuasai oleh segelintir elite yang dikenal sebagai "14 Keluarga", membuat mayoritas petani hidup tanpa tanah dan kesempatan ekonomi. Kondisi ini menciptakan tekanan demografis yang luar biasa dan mendorong gelombang emigrasi besar-besaran.

Sejak awal abad ke-20, ratusan ribu warga Salvador mulai bermigrasi ke Honduras yang lebih luas dan jarang penduduknya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pada 1969, diperkirakan sekitar 300.000 imigran Salvador tinggal di Honduras, membentuk hampir 20 persen dari total populasi petani di negara itu. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan pisang milik perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, sementara yang lain menjadi petani kecil, menggarap lahan-lahan kosong yang dianggap sebagai tanah publik oleh pemerintah Honduras. Selama bertahun-tahun, kehadiran mereka memberikan tenaga kerja yang murah dan terampil, yang secara makro ekonomi menguntungkan Honduras.

Namun, situasi mulai berubah ketika Honduras menerapkan Undang-Undang Reformasi Agraria pada 1962 dan 1967. Awalnya, kebijakan ini merupakan bagian dari program "Aliansi untuk Kemajuan" yang didukung AS, sebuah inisiatif era Perang Dingin yang bertujuan untuk meredam ketidakpuasan petani dan mencegah penyebaran komunisme dengan cara mendistribusikan kembali tanah. Namun, seiring memburuknya kondisi ekonomi dan meningkatnya kerusuhan politik di Honduras, rezim militer yang berkuasa mulai memanipulasi kebijakan ini. Pada April 1969, pemerintah Honduras mengumumkan akan mengusir siapa saja yang memperoleh properti tanpa memenuhi persyaratan hukum — sebuah tindakan yang secara eksplisit menargetkan para pemukim Salvador yang sebagian besar tidak memiliki dokumen resmi.

Kebijakan ini menjadi pembenaran hukum untuk sentimen anti-imigran yang telah lama membara. Petani Honduras, yang juga berjuang untuk mendapatkan tanah, mulai memandang para imigran Salvador yang relatif lebih sukses sebagai pesaing ekonomi yang merebut pekerjaan dan lahan mereka. Kebencian ini secara aktif dipupuk oleh para politisi dan tuan tanah lokal yang melihat para imigran sebagai kambing hitam yang sempurna atas masalah ekonomi negara. Akibatnya, kekerasan terhadap warga Salvador meningkat drastis. Bahkan sebelum pertandingan sepakbola pertama dimulai, puluhan ribu warga Salvador telah diusir secara brutal, dipaksa kembali ke negara asal mereka yang sudah penuh sesak, dengan membawa cerita-cerita horor yang menyulut kemarahan di El Salvador.

Politik Pengalihan Isu Dan Nasionalisme Yang Membara

Di balik ketegangan agraria dan sosial, terdapat kalkulasi politik yang dingin dari para pemimpin kedua negara. Di Honduras, presiden jenderal Oswaldo López Arellano, yang merebut kekuasaan melalui kudeta berdarah pada 1963, menghadapi krisis legitimasi yang parah. Pada 1969, pemerintahannya berada di ambang kehancuran akibat ekonomi yang terpuruk, pemogokan buruh, dan protes mahasiswa yang meluas. Rezim Arellano sangat membutuhkan cara untuk mengalihkan kemarahan publik dari kegagalan pemerintahannya sendiri dan menyatukan negara yang terpecah belah.

Solusi yang dipilih adalah dengan mengkambinghitamkan populasi imigran Salvador. Secara sistematis, pemerintah dan media yang dikendalikannya mulai menyalahkan 300.000 imigran Salvador atas semua masalah Honduras, mulai dari pengangguran hingga tingkat upah yang rendah. Didukung oleh kelompok tuan tanah yang kuat seperti Federasi Nasional Petani dan Peternak Honduras (FENAGH), rezim melancarkan kampanye publik yang menuduh para imigran sebagai "penjajah" ilegal yang mengancam kedaulatan nasional. Dengan memanipulasi Undang-Undang Reformasi Agraria menjadi senjata pengusiran massal, López Arellano berhasil mengubah krisis internal menjadi konflik eksternal, sebuah strategi klasik untuk mempertahankan kekuasaan.

Di seberang perbatasan, pemerintah El Salvador di bawah presiden Fidel Sánchez Hernández menghadapi dilema yang tak kalah pelik. Di satu sisi, mereka dibanjiri oleh puluhan ribu pengungsi yang kembali dalam kondisi mengenaskan, banyak di antaranya menjadi korban kekerasan. Hal ini memicu kemarahan publik yang luar biasa dan tekanan dari kalangan militer untuk mengambil tindakan tegas demi membela kehormatan nasional. Ini adalah tekanan populis dari bawah yang menuntut pembalasan. Di sisi lain, elite penguasa El Salvador — "14 Keluarga" — justru merasa terancam oleh kedatangan kembali 300.000 petani miskin dan tak bertanah. Arus pengungsi ini berpotensi mengguncang tatanan sosial-ekonomi yang sangat timpang di El Salvador dan memicu tuntutan reformasi tanah internal, sesuatu yang sangat ditakuti oleh para elite.

Dalam situasi ini, perang menawarkan solusi brutal bagi kedua tekanan tersebut. Bagi El Salvador, melancarkan invasi akan memuaskan dahaga publik akan balas dendam sekaligus memproyeksikan "masalah petani" ke luar negeri, mengalihkannya dari isu reformasi tanah domestik menjadi konflik melawan musuh eksternal. Kedua pemerintah kini terjebak dalam retorika nasionalis yang mereka ciptakan sendiri. Di Honduras, sentimen anti-Salvador sudah begitu panas sehingga kompromi menjadi mustahil. Di El Salvador, tekanan dari publik dan militer membuat pemerintah tidak punya pilihan selain mengambil sikap keras. Panggung politik telah siap untuk perang; bagi kedua pemimpin, konflik tampak lebih menguntungkan secara politik daripada perdamaian.

Percikan Api Di Lapangan Hijau: Tiga Laga Kualifikasi Piala Dunia

Di tengah atmosfer politik yang sudah sangat panas, serangkaian pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1970 antara El Salvador dan Honduras menjadi katalisator yang meledakkan konflik. Pertandingan ini bukan lagi sekadar olahraga, melainkan perpanjangan dari pertarungan nasionalis. Laga pertama digelar di Tegucigalpa, ibu kota Honduras, pada 8 Juni 1969. Malam sebelumnya, tim nasional El Salvador tidak bisa tidur karena hotel mereka dikepung oleh para pendukung tuan rumah yang membuat keributan dengan musik keras dan teror psikologis lainnya. Dalam pertandingan yang sengit, Honduras berhasil mencetak gol kemenangan 1-0 di menit-menit terakhir. Kemenangan ini disambut dengan kerusuhan, dan media Salvador menggambarkannya sebagai penghinaan nasional yang tak tertahankan.

Seminggu kemudian, pada 15 Juni, giliran El Salvador menjadi tuan rumah di San Salvador. Aksi balas dendam pun terjadi dengan skala yang lebih besar. Tim Honduras mengalami teror sepanjang malam di hotel mereka, di mana jendela-jendela dilempari batu dan telur busuk. Sebelum pertandingan dimulai, suasana semakin memanas ketika bendera Honduras dibakar di hadapan penonton dan diganti dengan kain lap kotor. Menghadapi lawan yang terguncang dan ketakutan, El Salvador dengan mudah memenangkan pertandingan dengan skor telak 3-0. Kekalahan ini memicu gelombang kerusuhan anti-Salvador yang meluas di seluruh Honduras, mengakibatkan beberapa kematian dan mempercepat pengusiran massal imigran Salvador.

Karena aturan agregat gol belum berlaku, pertandingan penentuan harus diadakan di tempat netral. Laga ketiga ini diselenggarakan di Mexico City pada 26 Juni 1969. Ketegangan mencapai puncaknya. Pada hari yang sama dengan pertandingan, pemerintah El Salvador secara resmi memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Honduras, dengan alasan kegagalan pemerintah Honduras melindungi warga Salvador dari kekerasan yang mereka sebut sebagai "genosida". Dalam pertandingan yang dramatis, El Salvador akhirnya menang dengan skor telak 3-2 setelah perpanjangan waktu, memastikan satu tempat di Piala Dunia 1970.

Kemenangan di lapangan hijau ini menjadi momen terakhir dari ilusi sportivitas. Pertandingan-pertandingan tersebut telah berubah menjadi arena pertempuran proksi, di mana setiap gol dan setiap pelanggaran dibebani dengan makna politik dan kehormatan nasional. Dengan putusnya hubungan diplomatik, kedua negara segera memulai mobilisasi militer penuh. Percikan api dari lapangan sepakbola telah menyulut sumbu perang yang sebenarnya.