Festival Budaya 2025 Anrang Bulukumba: Diskusi Film Alfian Nawawi

Featured Image

Malam Film di Tengah Hutan: Refleksi tentang Rantau dan Akar

Di Desa Anrang, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, malam yang hangat pada Senin, 4 Agustus 2025, menjadi momen istimewa. Di bawah langit yang dipenuhi cahaya bulan, layar putih muncul antara pohon-pohon. Warga desa berkumpul di bangku-bangku panjang sambil menikmati aroma kopi dan kudapan. Ibu-ibu, anak-anak kecil, pemuda, dan orang tua hadir dalam suasana yang hangat dan damai.

Setelah shalat Isya, Kebun Literasi TBM Rumah Nalar berubah menjadi ruang sinema terbuka. Namun, ini bukan sekadar acara hiburan biasa. Film Bulan di Atas Kuburan (2015) diputar, mengajak para penonton untuk merenungkan makna perantauan dalam konteks kekinian. Film ini secara perlahan membangkitkan kesadaran kolektif bahwa merantau tidak selalu berarti kemajuan. Terkadang, ia justru menjadi jalan pulang yang penuh luka.

Setelah tayangan film, Alfian Nawawi, seorang pemerhati budaya dan Pemred Zonza Kreasi, memberikan penjelasan dari perspektif budaya. Ia membahas relevansi merantau dalam dunia modern serta hubungannya dengan "merawat akar", tema utama Festival Harmoni Budaya.

Merantau Bukan Pilihan Keterpaksaan

Alfian menjelaskan bahwa bagi orang Bugis-Makassar dulu, merantau bukan disebabkan oleh tekanan ekonomi. Ini adalah cara untuk menguji diri, apakah seseorang bisa hidup di tanah orang tanpa kehilangan jati diri. Dalam sejarah Bugis-Makassar, merantau adalah bentuk penghargaan. Lelaki Bugis merantau bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menghadapi tantangan baru, menguji adaptasi, dan membawa nama baik kampung halaman.

Namun, dunia telah berubah. Kota-kota kini tidak lagi ramah seperti dulu. Film Bulan di Atas Kuburan menggambarkan bagaimana generasi muda sering kali tersesat dalam kehidupan urban. Tiga tokoh utamanya, semuanya pemuda Batak, datang ke Jakarta dengan harapan, tetapi justru menemukan kehidupan yang rumit dan tidak sesuai ekspektasi.

“Tanah rantau bisa sangat kejam. Kadang, ia tidak mengasah, tapi menghapus. Akar kita, seperti kearifan lokal, jika tidak dirawat dengan baik, akan menjadi bumerang,” ujar Alfian.

Kritik Sosial di Balik Imaji Kota

Film ini ditonton oleh ratusan warga yang menyimak dengan penuh perhatian. Di tengah alam hijau, diskusi mulai membuka berbagai aspek sinematografi, latar belakang, pesan penting dari film, serta pandangan masyarakat terhadap perantauan. Diskusi juga melibatkan budaya Bugis-Makassar yang masih menjadikan perantauan sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Kini, merantau sering kali dipaksakan oleh standar hidup yang semu. Bahwa hidup baru hanya valid jika jauh dari desa. Film ini, menurut Alfian, menjadi kritik: apakah kita benar-benar melangkah maju atau justru menjauh dari akar?

“Bukan semua orang yang pergi itu sedang berhasil. Kadang, orang pergi karena kalah di kampung sendiri,” tambahnya.

Diskusi Interaktif dan Perspektif Budaya

Sesi bedah film semakin menarik saat beberapa pemuda mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Jawaban-jawaban tersebut fokus pada perspektif budaya dan bagaimana film ini menjadi katalisator bagi generasi muda. Terutama dalam konteks mimpi di tanah rantau. Yang jelas, merantau bukanlah hal yang haram, tetapi harus tetap berakar pada kearifan lokal agar tidak tercerabut saat berada di tanah rantau, seperti yang dialami para tokoh dalam film.

Ruang Pulang dalam Festival Harmoni Budaya

Sesi bedah film ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Harmoni Budaya 2025 yang digelar sejak 3 hingga 9 Agustus oleh TBM Rumah Nalar dan difasilitasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, dalam kerangka Pemajuan Kebudayaan Nasional.

Festival ini bukan hanya acara seni budaya. Ia adalah ruang pulang—di mana nilai-nilai lama dipertemukan dengan napas generasi kini. Ada pameran benda warisan, permainan tradisional, dialog budaya, hingga pentas rakyat yang hidup oleh semangat bersama.

“Kami ingin festival ini menjadi napas bersama—menyatukan generasi dalam satu panggung kebudayaan yang berdaya,” ujar Abdul Haris Mubarak, pendiri TBM Rumah Nalar.

Kesadaran tentang Rantau dan Akar

Saat film usai dan diskusi mengambang di udara malam yang lembap, satu kesadaran tumbuh di antara para hadirin: bukan jarak yang membuat seseorang tercerabut dari akar, tapi lupa pada siapa dirinya. Dan malam itu, di tengah kebun yang harum tanah dan daun-daunan, film telah menyulut lebih dari sekadar emosi. Ia membuka ruang refleksi. Tentang rantau, tentang pulang, dan tentang siapa kita saat tak ada lagi yang memanggil nama kita di kampung halaman.