Forum PR Clubhouse Perkenalkan Kekuatan Suara Personal dalam Kehumasan

Featured Image

PR Clubhouse Indonesia: Ruang Perjumpaan yang Menggugah

PR Clubhouse Indonesia, sebuah forum komunitas yang diinisiasi oleh para praktisi komunikasi, menggelar edisi perdana yang menawarkan ruang alternatif untuk berbicara dan didengarkan. Dengan tema #UnmuteYourself, acara ini menjadi tempat perjumpaan lintas generasi dalam dunia komunikasi.

Forum ini dihadiri sekitar 100 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, profesional muda, hingga praktisi senior. Acara ini awalnya dirancang sebagai eksperimen, namun berubah menjadi momen kolektif yang menyentuh dan membekas.

Salah satu segmen utama dalam acara ini adalah SUPERTALKS, sebuah sesi diskusi yang menampilkan dua jenis pembicara: Superspeaker profesional muda di bidang PR atau kehumasan yang telah melalui proses kurasi, serta Special Guest praktisi senior dengan pengalaman panjang di ranah komunikasi publik dan korporasi.

Refleksi dan Kebutuhan Suara Pribadi

Head of Corporate Communication LRT Jakarta, Syifa Hidayati, menjadi pembuka sesi SUPERTALKS. Ia membagikan pandangan reflektif bahwa menjadi praktisi PR bukan hanya tentang menjadi corong perusahaan, tetapi juga tentang keberanian menyuarakan dan mengenali jati diri.

Syifa menekankan pentingnya membangun suara pribadi sebelum menyampaikan pesan institusi. Hal ini sering terlupakan di dunia PR yang penuh tekanan citra. “Sebelum kita mewakili nama perusahaan, kita perlu belajar merepresentasikan diri sendiri terlebih dahulu,” ujarnya.

Menurut Syifa, ucapan itu tidak menggurui, tapi menggugah. Pernyataan ini menyentil realita profesi humas yang kerap berada di balik layar dan terkungkung oleh tekanan citra. “Sebagai praktisi PR, penting untuk memiliki suara pribadi yang otentik sebagai fondasi dalam menyampaikan pesan korporat yang bermakna dan dipercaya publik,” tambahnya.

PR sebagai Sosok Ninja

Senior PR Manager di DOKU, Ike Yuningsih, menyamakan PR dengan sosok ninja yang jarang terlihat, tapi berperan vital dalam memastikan pesan sampai tepat. Dengan gaya lugas dan jujur, ia juga membedakan secara praktis antara PR dan marcomm, serta membuka pandangan peserta tentang posisi strategis komunikasi dalam organisasi modern.

Diskusi Kelompok Kecil

Setelah sesi utama SUPERTALKS, forum dilanjutkan dengan PR Mixer, di mana peserta dibagi ke dalam kelompok kecil untuk berdiskusi lebih intim. Mereka berbagi tantangan sehari-hari dalam dunia PR. Mulai dari tekanan untuk selalu terlihat "baik" di media sosial, dilema membangun personal branding di tengah tuntutan profesionalisme, hingga perasaan terasing sebagai praktisi komunikasi di dalam organisasi yang tidak selalu memahami peran mereka.

Forum ditutup dengan sesi #UnmuteYourself, di mana peserta diberi ruang untuk menyampaikan suara mereka tanpa skrip. Sebuah momentum jujur yang menggambarkan bahwa komunikasi yang berdampak, sesungguhnya lahir dari kejujuran dan keberanian untuk tampil apa adanya.

Forum Alternatif yang Manusiawi

Menurut Founder PR Clubhouse Indonesia, Arrozi Effendi, forum ini lahir dari keresahan terhadap ruang diskusi yang semakin kaku dan eksklusif. “Di tengah cepatnya perubahan dunia komunikasi, kami merasa ada kebutuhan akan ruang yang lebih manusiawi tempat kita bisa belajar tanpa takut salah, berbagi tanpa pencitraan,” ujarnya.

Bagi Arrozi, PR Clubhouse bukan soal pencitraan komunitas, tapi tentang keberanian untuk membangun ruang yang tulus. “Pertumbuhan paling bermakna dimulai dari koneksi yang jujur dan keberanian untuk saling mendengar,” tambahnya.

Melihat antusiasme yang muncul, PR Clubhouse tidak berhenti di sini. Komunitas ini berencana memperluas format kegiatannya dari forum diskusi seperti SUPERTALKS, hingga sesi hangout, olahraga bersama, dan percakapan kasual yang tidak melulu soal kerja.

“Tujuannya sederhana, menciptakan ekosistem komunikasi yang lebih terbuka, adaptif, dan saling mendukung,” ujar Arrozi. Karena pada akhirnya, lanjutnya, menjadi PR bukan hanya soal menyusun pesan. Tapi juga soal menyusun ulang ruang-ruang perjumpaan agar setiap suara sekecil dan sesamar apapun tetap punya tempat untuk tumbuh bersama.

“Semua dilakukan dengan semangat membuka ruang tumbuh yang relevan bagi generasi baru praktisi komunikasi,” tutupnya.