Gerald Ford, Presiden AS yang Tak Terpilih Melalui Pemilu

Featured Image

Sejarah Unik Gerald Ford dalam Politik Amerika Serikat

Gerald Ford memiliki peran yang sangat istimewa dalam sejarah politik Amerika Serikat. Ia menjadi satu-satunya orang yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden dan Presiden tanpa dipilih secara nasional melalui pemilu. Hal ini membuatnya menjadi salah satu presiden terunik dalam sejarah negara tersebut.

Masa kepemimpinannya berlangsung di tengah situasi politik yang penuh gejolak. Skandal Watergate dan akhir Perang Vietnam menciptakan tantangan besar bagi Ford. Meskipun ia berupaya keras untuk memulihkan kepercayaan rakyat, beberapa keputusannya justru memicu kontroversi.

Karier Politik Sebelum Menjadi Presiden

Sebelum masuk ke lingkaran kepresidenan, Gerald Ford memiliki karier yang panjang. Ia pernah menjadi anggota Angkatan Laut Amerika Serikat dari tahun 1942 hingga 1946 dengan pangkat terakhir sebagai Lieutenant Commander. Ia juga ikut bertempur dalam Perang Dunia II, khususnya pada Pertempuran Laut Filipina pada 1944.

Setelah perang berakhir, ia mulai terlibat dalam dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (House of Representatives). Dari tahun 1949 hingga 1973, ia mewakili Michigan. Selama masa itu, ia meningkatkan popularitasnya dan mengambil peran penting sebagai Ketua Partai Republik antara 1965 hingga 1973.

Menduduki Jabatan Presiden Tanpa Pemilu

Pada 6 Desember 1973, Gerald Ford pertama kali masuk ke lingkaran kepresidenan. Ia dipilih sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat untuk menggantikan Spiro Agnew yang mundur. Penunjukan ini dilakukan oleh Presiden Richard Nixon dan disetujui oleh Kongres melalui Amandemen ke-25 Konstitusi Amerika Serikat.

Dalam waktu kurang dari setahun menjabat Wakil Presiden, Ford kembali membuat sejarah. Pada 9 Agustus 1974, Nixon mundur dari jabatan presiden akibat skandal Watergate. Dengan hal ini, Ford secara otomatis dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-38. Ini membuatnya menjadi satu-satunya presiden yang tidak pernah memenangkan pemilu presiden maupun wakil presiden.

Upaya Memulihkan Kepercayaan Publik

Saat Ford memimpin, Amerika Serikat sedang menghadapi krisis besar. Skandal Watergate telah merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan federal. Ford menyadari bahwa ia harus segera mengambil langkah-langkah untuk membangun kembali kepercayaan rakyat.

Ia memperkenalkan transparansi dengan membuka akses publik terhadap dokumen-dokumen pemerintah. Selain itu, ia fokus pada upaya penstabilan ekonomi yang sedang menghadapi inflasi tinggi dan dampak dari sisa Perang Vietnam.

Kontroversi Pengampunan Richard Nixon

Keputusan paling kontroversial dalam masa jabatan Ford terjadi sebulan setelah ia menjadi presiden. Pada 8 September 1974, ia memberikan pengampunan penuh kepada mantan presiden Richard Nixon atas semua pelanggaran yang mungkin dilakukannya, termasuk dalam skandal Watergate.

Banyak orang menganggap tindakan ini sebagai upaya melindungi Nixon dari proses hukum. Reaksi publik sangat negatif, dan tingkat persetujuan Ford turun drastis hanya dalam hitungan minggu. Pengampunan ini terus membayangi reputasinya sepanjang karier politiknya.

Kepemimpinan di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik

Selain krisis politik, Ford juga menghadapi tantangan ekonomi yang serius. Inflasi melonjak hingga dua digit, yang memengaruhi tingkat pengangguran. Untuk mengatasinya, pemerintahannya meluncurkan kampanye Whip Inflation Now (WIN), yang mendorong masyarakat untuk menghemat dan menekan kenaikan harga. Namun, banyak pengamat menganggap kebijakan ini tidak efektif.

Di samping itu, Ford juga harus menghadapi kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Pada 1975, Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis, yang memicu evakuasi besar-besaran staf Amerika Serikat dari Saigon.

Meski penuh kontroversi, banyak sejarawan mengakui bahwa Ford memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas nasional. Masa pemerintahannya dari 1974 hingga 1977 merupakan masa transisi dari era Nixon menuju normalisasi politik. Komisi Sejarah Kepresidenan Amerika Serikat menganggapnya sebagai figur penting yang membantu memulihkan demokrasi setelah krisis.