Hidup Mati di Gunung Bawang: Agil dan Teman Tersesat 12 Jam Diterjang Petir

Hidup Mati di Gunung Bawang: Agil dan Teman Tersesat 12 Jam Diterjang Petir

Pengalaman Mengerikan dan Perjuangan Hidup di Gunung Bawang

Agil, salah satu dari tujuh pendaki yang mengalami kejadian mengerikan di Gunung Bawang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, menceritakan detik-detik berbahaya saat petir menyambar tenda mereka. Peristiwa ini tidak hanya membawa duka mendalam, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi para pendaki.

Perjalanan dimulai pada Jumat 1 Agustus 2025 pukul 08.00 WIB, ketika mereka memulai pendakian ke Gunung Bawang. Pada malam hari, sekitar pukul 20.00 WIB, mereka tiba di puncak dan langsung membuat tenda untuk beristirahat. Namun, hujan mulai turun pada Sabtu 2 Agustus 2025 pukul 04.00 WIB. Awalnya, hujan biasa, tetapi sekitar pukul 05.30 WIB, petir menyambar tenda mereka dengan dahsyat.

Agil, yang masih sadar sepenuhnya, mencoba menenangkan rekan-rekannya yang terpental dan merasa lumpuh. Setelah sambaran pertama, lima menit kemudian, petir kembali menyambar, menyebabkan tenda dialiri listrik. Karena khawatir akan bahaya jika membopong Alponso yang pingsan, mereka akhirnya meninggalkannya di tenda dan segera turun gunung.

Mereka turun sekitar pukul 07.00 pagi dalam kondisi basah kuyup, tanpa jaket memadai, dan tanpa alas kaki. Semua barang-barang tertinggal di puncak. Setelah turun, mereka berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Agil menyarankan untuk menunggu cuaca terang dan kembali ke puncak untuk mengambil barang-barang penting serta memeriksa kondisi Alponso.

Pukul 09.00 pagi, cuaca mulai cerah. Agil, Fadhil, dan Ali kembali ke puncak. Di sana, mereka menemukan Alponso pucat dan tidak sadarkan diri. Ali memberikan napas buatan, tetapi tak lama kemudian petir menyambar lagi. Mereka segera turun, dan sambaran ketiga ini diduga menjadi penyebab meninggalnya Alponso.

Setelah kembali turun, kelompok mereka berkumpul di hutan lumut. Agil, Ali, dan Yolen memutuskan untuk berjalan lebih dulu mencari bantuan, sementara yang lain menunggu. Di jalur turun, Agil menyadari mereka tersesat karena jalur yang seharusnya menurun malah menanjak. Mereka mencoba kembali ke jalur semula, tetapi kembali salah jalan.

Pukul 14.00–15.00 WIB, setelah sadar mereka tersesat, mereka tetap tenang. Mereka kehabisan bekal dan kaki terluka karena berjalan tanpa alas kaki. Yolen menyarankan untuk mencari jalur terbuka. Agil memutuskan untuk mengikuti aliran sungai. Pukul 18.00 WIB, mereka berhenti dan mencoba membuat api unggun untuk menghangatkan diri.

Pukul 18.30 WIB, Agil berhasil menggunakan hotspot untuk melihat Google Maps dan mengirimkan lokasi mereka melalui WhatsApp setelah mendapat sinyal. Melalui telepon, mereka terhubung dengan teman-teman yang kemudian meminta mereka tetap di tempat sambil membuat api unggun besar.

Pukul 01.00 WIB, mereka mendengar suara teriakan tim penyelamat, tetapi belum bisa bertemu. Pukul 02.00–03.00 WIB, suara semakin dekat. Tim penyelamat, yang terdiri dari warga kampung, berhasil mencapai mereka. Menjelang pagi, mereka memutuskan menunggu terang untuk mulai turun.

Pukul 06.00 WIB, mereka mulai berjalan. Agil yang tidak bisa berjalan karena kakinya sakit digendong oleh warga. Pukul 08.00 WIB, mereka bertemu tim SAR dan Polisi. Agil terus digendong hingga ke pondok Ketua RT Madi. Pukul 09.00 WIB, di pondok, Agil mencoba makan, namun kembali muntah karena nyeri di perut dan dada.

Pukul 10.00 WIB, Agil dan Yolen ditandu ke mobil polisi. Pukul 11.00 WIB, mereka tiba di RSUD Bengkayang dan Agil akhirnya mendapat perawatan medis. Ia mengungkapkan masih merasakan nyeri di ulu hati, dada, dan kaki akibat insiden tersebut. Pengalaman ini menyisakan trauma mendalam baginya, dan ia baru bisa makan dengan normal tiga hari setelah kejadian.