Ironi Angola: Negara Kaya Minyak, Rakyat Miskin dan Lapar

Dua Peristiwa Tragis yang Menggambarkan Kekacauan di Angola
Julio Candero, seorang aktivis hak asasi manusia asal Angola, memiliki dua momen yang sangat menghancurkan dalam ingatannya. Pertama, ia melihat seorang perempuan tertembak dari belakang oleh polisi. Kedua, ia mendengar teriakan "temos fome" atau "kami lapar" dari para demonstran. Kedua kejadian ini menjadi simbol puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintah, yang mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini memicu gelombang protes besar-besaran sejak awal Juli 2025.
Kenaikan harga solar sebesar 33 persen menjadi awal dari aksi protes. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari paket penghematan fiskal yang disusun menyusul desakan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Angola memangkas pengeluaran, termasuk subsidi BBM. Awalnya, demonstrasi berlangsung damai pada 12 Juli 2025, tetapi ketegangan meningkat setelah asosiasi sopir taksi melakukan mogok nasional selama tiga hari. Aksi kemudian berubah menjadi kerusuhan di berbagai kota besar, dengan pembakaran ban dan penjarahan toko.
Pemerintah melaporkan sedikitnya 22 orang tewas dalam bentrokan antara massa dan polisi. Sebanyak 197 orang terluka, sedangkan lebih dari 1.200 orang ditangkap. Menurut Candero, yang kini menjabat sebagai Direktur LSM Mosaiko, ini adalah salah satu kerusuhan terburuk sejak kudeta 1977 dan kekerasan pasca-pemilu 1992. Meski ketegangan mulai mereda di Ibu Kota Luanda dan sejumlah wilayah lain, suasana belum sepenuhnya pulih. Aparat bersenjata lengkap masih berjaga di sejumlah titik, sedangkan puing-puing kendaraan dan bangunan yang terbakar menjadi saksi bisu amarah warga.
Negara Kaya Minyak, Rakyat Miskin
Angola merupakan negara produsen minyak ketiga terbesar di Afrika. Namun, hanya 30 persen kebutuhan domestik yang bisa dipenuhi melalui satu-satunya kilang tua peninggalan kolonial. Kondisi fiskal Angola diperparah dengan penurunan harga minyak Brent yang jatuh di bawah 60 dollar AS per barel pada April, sedangkan anggaran 2025 disusun dengan asumsi harga 70 dollar AS per barel. Menurut Menteri Koordinasi Ekonomi Jose de Lima Massano, subsidi BBM tahun lalu mencapai 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 48 triliun). Anggaran tersebut setara dengan dana untuk 1.400 proyek pembangunan, tetapi karena keterbatasan fiskal, sekitar 500 proyek terpaksa ditunda.
Carlos Rosado de Carvalho, profesor ekonomi di Universitas Katolik Angola, menyebut pencabutan subsidi sebagai keputusan yang terpaksa, meskipun waktunya sangat tidak tepat. “Kenaikan harga bahan bakar terjadi bersamaan dengan kenaikan tarif listrik dan air yang masing-masing naik 50 persen dan 30 persen,” ujarnya. Carvalho menambahkan bahwa pada Juli 2025, upah minimum nasional hanya mampu mencukupi sekitar 66 persen dari kebutuhan dasar rumah tangga.
Ketimpangan dan Korupsi Jadi Akar Masalah
Meski kaya sumber daya alam, sebagian besar rakyat Angola tak menikmati hasilnya. Sekitar 60 persen pendapatan negara dan 95 persen ekspor berasal dari minyak, tetapi manfaatnya belum menyentuh rakyat kecil. Candero menuding korupsi sebagai biang keladi utama. “Rakyat Angola tidak merasakan kekayaan negaranya karena korupsi. Seperti banyak negara kaya sumber daya di Afrika, rakyat kami justru hidup dalam kesengsaraan,” katanya. Ia menilai kebijakan pencabutan subsidi tidak adil, karena justru membebani kelompok miskin.
Pemerintah berdalih harga BBM di Angola terlalu murah sehingga kerap diselundupkan ke negara tetangga. Namun, menurut Candero, alasan tersebut tidak bisa membenarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Attiya Waris, pakar pembangunan dari Universitas Nairobi sekaligus pelapor independen PBB untuk isu utang luar negeri, memperingatkan dampak sosial dari pencabutan subsidi. Dalam laporannya, Waris menyebut penghapusan subsidi berisiko menaikkan inflasi pangan dan memperburuk ketimpangan sosial. Ia menyoroti kenaikan harga telur yang melonjak hingga 400 persen. Di sisi lain, biaya transportasi harian kini mencapai 4.000 kwanza (Rp 71.000), melebihi penghasilan harian 53 persen warga Angola.
Kritik atas Penanganan Demonstrasi
Human Rights Watch (HRW) mengecam penanganan demonstrasi yang dianggap represif. Polisi disebut menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa pada 12 Juli. “Warga Angola seharusnya dapat memprotes kebijakan secara damai tanpa menghadapi kekerasan dan pelanggaran hak-hak dasar,” ujar Ashwanee Budoo-Scholtz, Wakil Direktur HRW untuk Afrika. Namun, Presiden Angola Joao Lourenco tetap membela aparat. Dalam pidato kenegaraan pekan lalu, ia menegaskan bahwa polisi telah bertindak sesuai tugas dan menyerukan persatuan nasional, seiring peringatan 50 tahun kemerdekaan.
Pernyataan itu ditanggapi dingin oleh Candero. “Kenaikan biaya hidup hampir pasti akan memicu lebih banyak protes,” katanya. Bagi sebagian warga Angola, protes adalah bentuk keputusasaan. Bagi yang lain, itu adalah satu-satunya cara untuk menarik perhatian pemerintah terhadap penderitaan mereka. “Anak-anak muda dari permukiman miskin akan terus berjuang hingga kelaparan mereda. Ini hanyalah gejala. Selama akar masalahnya tidak diselesaikan, unjuk rasa tidak akan berhenti,” kata Candero. “Ini adalah seruan dari rakyat yang lapar, demi sepotong roti dan sedikit martabat,” pungkasnya.