Kemacetan Pelabuhan Ketapang Bangkitkan Kembali Wacana Jembatan Jawa-Bali

Kemacetan di Pelabuhan Ketapang Kembali Jadi Perhatian Nasional
Kemacetan panjang yang terjadi di kawasan Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, kembali menjadi perhatian publik nasional. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur penghubung antara Pulau Jawa dan Bali. Masalah ini juga menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera mencari solusi yang lebih efektif.
Beberapa faktor utama menyebabkan kemacetan tersebut. Pertama, pembatasan operasional kapal penyeberangan setelah kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya mengganggu layanan penyeberangan. Kedua, penutupan jalur komuter Jember menyebabkan lonjakan volume kendaraan logistik yang memilih jalur Ketapang sebagai alternatif.
Situasi diperparah ketika pada 14 Juli 2025, sebanyak 15 kapal jenis Landing Craft Tank (LCT) harus melakukan docking di pelabuhan LCT Ketapang. Hanya dua kapal LCT yang dapat beroperasi, menyebabkan antrean panjang kendaraan di jalur menuju pelabuhan. Selain itu, cuaca buruk yang melanda kawasan Selat Bali pada 29 dan 30 Juli 2025 membuat pelabuhan ditutup total selama berjam-jam. Angin kencang dan gelombang tinggi membuat pelayaran tidak bisa dilakukan demi keselamatan.
Hingga 1 Agustus 2025 dini hari, antrean kendaraan baik pribadi maupun logistik masih mengular di Jalan Raya Tanjung Wangi, jalur utama menuju dermaga penyeberangan Jawa–Bali. Situasi ini memicu kembali perbincangan lama yang telah berulang kali mencuat: kapan jembatan penghubung Jawa–Bali dibangun?
Wacana Jembatan Jawa–Bali: Sudah Lama, Tapi Belum Juga Nyata
Wacana pembangunan jembatan penghubung Banyuwangi (Jawa Timur) dan Gilimanuk (Bali) sudah berhembus sejak tahun 1960-an, namun hingga kini belum pernah direalisasikan. Terakhir, ide ini kembali mencuat saat Komisi 5 DPR RI pada 2023 mendorong studi kelayakan pembangunan jembatan sebagai kelanjutan proyek Tol Probowangi–Singaraja.
Sayangnya, rencana tersebut kembali mendapat penolakan, khususnya dari Pemerintah Provinsi Bali, tokoh adat, serta kalangan pemuka agama Hindu. Mereka beralasan, pembangunan jembatan bisa mengganggu keseimbangan budaya dan spiritualitas Pulau Bali yang sangat dijaga sejak dulu.
Berikut adalah tiga alasan utama yang sering dikemukakan terkait penolakan jembatan penghubung ini:
-
Alasan Budaya dan Spiritualitas
Kepercayaan masyarakat Hindu Bali menyatakan bahwa laut yang memisahkan Bali dan Jawa adalah bentuk perlindungan spiritual. Laut dianggap sebagai batas alami yang menjaga adat dan budaya Bali dari pengaruh luar. -
Alasan Teknis dan Geografis
Selat Bali dikenal memiliki arus laut deras, kedalaman tinggi, dan potensi gempa serta tsunami, yang membuat pembangunan jembatan menjadi tantangan teknis besar. Dibutuhkan teknologi canggih dan struktur tahan bencana. -
Alasan Ekonomi dan Prioritas
Pembangunan jembatan diperkirakan akan menelan biaya lebih dari Rp20 triliun, sebuah angka fantastis. Pemerintah daerah Bali memilih fokus pada peningkatan jalan lokal seperti jalur Gilimanuk–Denpasar, bukan proyek lintas pulau.
Namun perlu dicatat, jembatan Jawa–Bali tentu akan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah.
Setelah kemacetan parah terjadi, kini anggota Komisi 6 DPR RI, M. Nasim Khan, kembali menegaskan pentingnya menghidupkan kembali wacana jembatan penghubung Jawa–Bali. Menurutnya, proyek ini bukan hanya untuk mobilitas, tapi juga berdampak besar bagi ekonomi dan pariwisata nasional. Wacana ini seharusnya sudah tidak ditunda lagi, karena kemacetan bukan hanya merugikan secara waktu dan ekonomi, tapi juga memperburuk logistik nasional.