Khawatir Rusak Hutan, DPR RI Evaluasi SK KHDPK

Featured Image

Masalah yang Muncul Akibat SK 287/MENLHK/SETJEN/PLA.0/4/2022

Kisruh yang terjadi di kalangan petani desa hutan akibat penerapan Surat Keputusan (SK) 287/MENLHK/SETJEN/PLA.0/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) menjadi perhatian serius Komisi IV DPR RI. Setelah agenda reses awal Agustus 2025, isu ini akan segera dibahas dalam rapat-rapat penting.

Dalam kunjungan resesnya ke sekretariat Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), Alam Santosa, Pasirimpun, Kecamatan Cimeunyan, Kabupaten Bandung, Senin (4/8/2025), anggota Komisi IV DPR RI Dr. H. Dadang M Naser menyampaikan rencana tersebut. Ia melakukan audiensi dengan relawan FPHJ, petani desa hutan, dan masyarakat adat. Selama pertemuan, beberapa petani mengungkapkan konflik horisontal antar sesama petani sejak berlakunya SK KHDPK.

Petani yang sebelumnya menggarap hutan melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di bawah bimbingan Perhutani kini menghadapi ancaman dari petani baru yang memiliki SK KHDPK. Kelompok ini tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Seorang petani dari Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, dilaporkan ke Polsek Pasirjambu karena dituduh mencuri kopi oleh petani lain yang memiliki SK KHDPK. Padahal, petani yang dilaporkan tersebut telah bekerja sama dengan Perhutani sejak 2004 melalui PHBM.

Konflik dan Kerusakan Hutan

Dalam diskusi, Aki Dadi, petani desa hutan Tenjolaya, menyampaikan keluhan bahwa ia dituduh mencuri kopi yang ia tanam sendiri. “Mengapa saya dituduh mencuri kopi yang saya tanam, padahal saya yang menanam kopi tersebut dengan pola bagi hasil dengan Perhutani sejak 2004,” ujarnya.

Ketua FPHJ Drs H Eka Santosa menjelaskan bahwa fenomena ini adalah contoh nyata dari masalah yang muncul akibat SK KHDPK. Menurutnya, selama sebulan terakhir, FPHJ telah meninjau sejumlah hutan yang dijadikan KHDPK oleh Kementerian Kehutanan. Dari total 2,4 juta hektare kawasan hutan di Pulau Jawa yang dikelola oleh Perhutani, sekitar 1,1 juta hektare dialihstatuskan menjadi KHDPK.

Eka mengungkapkan bahwa peninjauan FPHJ menunjukkan adanya konflik horisontal antarpetani serta kerusakan hutan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa KHDPK diberikan kepada masyarakat yang belum memiliki pengalaman dan komitmen dalam menjaga serta memanfaatkan hutan. “Banyak petani yang ditunjuk dalam SK KHDPK itu bukan berasal dari warga desa hutan setempat. Kemungkinan mereka juga para investor,” katanya.

Kritik terhadap Kebijakan KHDPK

Eka menyatakan prihatin terhadap kebijakan KHDPK yang diduga turunan dari program reforma agraria. Ia menegaskan bahwa reforma agraria tidak boleh diimplementasikan pada kawasan hutan. “Lahan hutan tidak boleh secara serampangan dipercayakan pemanfaatannya kepada masyarakat yang belum berpengalaman dan kompeten,” tegasnya.

Selain itu, Eka menemukan aksi pengusiran terhadap petani dan aparat Perhutani oleh kelompok tertentu yang mengantongi SK KHDPK. Yang lebih memprihatinkan lagi, Perhutani dan petani desa hutan tidak diberi tahu jika lahan garapannya sudah dialihstatuskan menjadi KHDPK oleh Kementerian Kehutanan.

Langkah yang Diambil oleh DPR RI

Pihak FPHJ mengapresiasi Komisi IV DPR RI melalui Dr. H. Dadang Naser yang akan segera membahas masalah KHDPK melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). Eka berharap DPR RI mendesak Kementerian Kehutanan mencabut SK KHDPK. Jika tidak, pihaknya khawatir terjadi kerusakan hutan dan konflik horisontal yang lebih luas.

Dadang M Naser menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya penerbitan SK KHDPK yang dikhawatirkan menimbulkan masalah baru. Ia menyoroti kemungkinan SK ini abal-abal atau tidak layak. “Nanti kita evaluasi di Komisi IV,” ujarnya. Dadang memberi peringatan bahwa jika implementasi SK KHDPK tidak mengedepankan konsep agroforestry, maka harus segera dicabut.

Ia juga meminta agar petani yang merupakan warganya tidak menjadi korban oleh kelompok tertentu. Dadang menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin ada kebijakan Kementerian Kehutanan yang memicu terjadinya kerusakan hutan dan konflik horisontal. “Bersama FPHJ juga, kita akan buat kebun percontohan agroforestry di Kabupaten Bandung,” tegasnya.