Kisah 7 Pendaki Tersambar Petir di Gunung Bawang Bengkayang

Pengalaman Tragis Tujuh Pendaki yang Tersambar Petir di Gunung Bawang Bengkayang
Sebuah insiden tragis terjadi pada tujuh pendaki yang sedang melakukan pendakian di Gunung Bawang Bengkayang, Kalimantan Barat. Salah satu pendaki yang selamat, Ega Ferdian (20), menceritakan pengalamannya secara detail setelah kejadian tersebut.
Dari tujuh orang tersebut, ada tiga yang berada dalam tenda bersama Ega, yaitu Agil, Fadil, Jailani, Almarhum Alponso Buncung, Ali, dan Yolen. Awalnya hanya empat orang yang merencanakan pendakian, namun Alponso memutuskan untuk bergabung karena ingin ikut meski tidak memiliki tim. Ia menghubungi Fadil dan menanyakan apakah bisa ikut. Akhirnya, mereka berlima berkumpul di rumah Fadil di kawasan KS Tubun, Pontianak, sementara Ali dan Yolen bergabung di Alfamart Bengkayang.
Pendakian dimulai pada 1 Agustus 2025 pukul 08.00 WIB dari basecamp di Desa Suka Bangun atau dikenal sebagai Lembah. Saat itu, kondisi cuaca cerah dan perjalanan terasa ringan. Mereka sempat bertanya kepada warga setempat tentang kondisi cuaca. Warga menyampaikan bahwa sudah empat bulan kemarau dan tidak ada hujan. Mereka juga disarankan membawa air dari Pos 1 karena kemungkinan Pos 2 dan Pos 3 kekeringan. Namun, saat tiba di Pos 2, mereka mendengar suara aliran air yang cukup deras.
Setelah perjalanan sekitar 12 jam, mereka berhasil mencapai puncak Gunung Bawang pada pukul 20.00 WIB malam. Cuaca cerah dan langit penuh bintang membuat suasana sangat indah. Mereka langsung mendirikan tenda dan makan, lalu bercerita-cerita hingga pukul 23.00 WIB sebelum tidur.
Musibah terjadi menjelang subuh. Pukul 04.00 WIB pagi, hujan mulai turun. Tenda bagian tengah bocor, sehingga penghuninya terbangun. Mereka meminta teman-temannya yang tendanya bocor untuk pindah ke tenda di sebelah. Setelah itu, mereka kembali tidur.
Pukul 06.00 WIB atau 06.30 WIB pagi, petir pertama menyambar tenda Ega. Saat itu, hujan masih normal dengan angin dan guntur samar di kejauhan. Tiba-tiba, petir langsung menyambar tenda mereka. Tenda hancur dan berapi. Ega dan dua temannya terpental dan tidak bisa bergerak. Mereka kesakitan dan berteriak.
Beberapa menit kemudian, petir kembali menyambar tenda sebelah. Meskipun tenda Ega hanya merasakan tegangan listrik, mereka tetap merangkak keluar karena hujan masih turun. Pukul 08.00 WIB, Ali memberitahu bahwa Alponso pingsan. Dengan kondisi yang tidak bisa bergerak dan pakaian basah kuyup, mereka memutuskan untuk menunggu teman-teman yang lebih kuat.
Agil, Ali, dan Fadil memutuskan naik kembali ke puncak untuk memastikan kondisi Alponso dan mengambil barang-barang penting seperti ponsel, dompet, kompor, dan gas. Kondisi Alponso semakin parah, dengan bibir kering dan lidah tergigit. Pukul 09.00 WIB, mereka yakin Alponso sudah meninggal dunia. Mereka merapikan tubuh dan jaket Alponso.
Setelah yakin Alponso sudah meninggal, tiga orang turun dari puncak dan bergabung kembali dengan rombongan yang menunggu di bawah. Ega dan dua rekannya mulai merasa cemas karena Agil dan tim belum juga kembali. Beruntung, mereka akhirnya dijemput oleh tim penyelamat setelah tersesat selama 16 jam.
Kapolres Bengkayang AKBP Syahirul Awab mengungkapkan proses evakuasi berlangsung selama lebih dari 12 jam. Pada pukul 03.41 WIB (3 Agustus 2025), jenazah korban berhasil diturunkan dan dibawa ke RSUD Bengkayang. Korban luka juga segera mendapat perawatan medis.
Ega hanya mengalami luka bakar ringan akibat sambaran petir serta nyeri di beberapa bagian tubuh. Meskipun demikian, secara keseluruhan kondisinya dinyatakan aman. Ia pun menyampaikan pesan penting untuk para pendaki lainnya, terutama yang hendak naik gunung di tengah cuaca tidak menentu. “Kalau hujan gitu kan, hujan, guntur, petir jangan maksakan lah,” pesannya. Ia menekankan bahwa keselamatan adalah prioritas utama, dan penting untuk tidak memaksakan diri saat kondisi alam sedang tidak bersahabat.