Kisah Karier Ivan Yustiavandana, Ketua PPATK

Featured Image

Kebijakan PPATK yang Mengundang Perdebatan

Penghentian sementara rekening bank yang tidak menunjukkan aktivitas selama tiga bulan telah menjadi topik yang ramai dibicarakan di masyarakat. Keputusan ini dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan tujuan melindungi kepentingan publik dari potensi penyalahgunaan dana yang tidak sah.

Ivan Yustiavandana, Ketua PPATK, menjelaskan bahwa pemblokiran rekening pasif dilakukan sebagai langkah perlindungan terhadap pemilik rekening. Menurutnya, pihak berwenang harus hadir untuk mencegah kemungkinan penggunaan dana yang tidak sah oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menghindari dampak sosial yang lebih besar, seperti bunuh diri, jual diri, atau bahkan kebangkrutan akibat penggunaan dana yang tidak terkontrol.

Dalam analisis PPATK, ditemukan lebih dari 140 ribu rekening dormant yang telah tidak aktif selama lebih dari 10 tahun. Nilai total dana dalam rekening tersebut mencapai Rp 428,6 miliar. Ivan menegaskan bahwa pemblokiran hanya dilakukan sebagai bentuk perlindungan, bukan pengambilalihan hak pemilik rekening. Dengan demikian, dana yang tersimpan tetap aman, meskipun rekening sedang dalam kondisi terkunci sementara.

Namun, kebijakan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Akhirnya, PPATK memutuskan untuk membuka kembali akses jutaan rekening yang sebelumnya diblokir. Sampai saat ini, sudah lebih dari 30 juta rekening yang berhasil dibuka kembali. Hal ini menunjukkan bahwa PPATK siap mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa mengabaikan prinsip keamanan dan pengawasan.

Latar Belakang dan Karier Ivan Yustiavandana

Ivan Yustiavandana menjabat sebagai Kepala PPATK sejak 2021 hingga 2026. Ia dilantik oleh mantan Presiden Joko Widodo pada 25 Oktober 2021, menggantikan Kepala PPATK sebelumnya, Dian Ediana Rae. Sebelum menjabat posisi ini, Ivan telah lama berkarier di lembaga tersebut sejak 2003.

Latar belakang pendidikan Ivan sangat kuat dalam bidang hukum. Ia lulus dari Universitas Jember dengan gelar sarjana hukum. Setelah itu, ia melanjutkan studi master di Washington College of Law, Amerika Serikat, dan kemudian menempuh program doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Karier Ivan terus berkembang, mulai dari jabatan Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan hingga menjadi Deputi Bidang Pemberantasan sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Ketua PPATK. Selain berkarier di PPATK, ia juga aktif dalam berbagai tulisan ilmiah dan penerbitan buku di bidang hukum dan ekonomi.

Beberapa buku yang ia tulis antara lain Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, serta Tindak Pidana Pencucian Uang Di Pasar Modal. Ivan juga pernah memimpin penyusunan dokumen penting seperti National Risk Assessment on Money Laundering (NRA-ML) dan National Risk Assessment on Terrorist Financing (NRA-TF).

Di tingkat regional dan internasional, Ivan aktif berkontribusi dalam forum seperti Financial Intelligence Consultative Group (FICG) dan Anti-Money Laundering/Counter-Terrorist Financing Work Stream yang melibatkan negara-negara ASEAN, Australia, dan Selandia Baru.

Kekayaan Ivan Yustiavandana

Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ivan Yustiavandana tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp 9.381.270.506 atau sekitar Rp 9,3 miliar. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan laporan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 4,5 miliar.

Dalam laporannya, Ivan mengaku memiliki tujuh aset berupa tanah dan bangunan dengan luas bervariasi, serta dua unit mobil. Selain itu, ia juga memiliki harta berupa surat berharga, kas, dan harta bergerak lainnya. Total kekayaan bersih Ivan adalah Rp 9,3 miliar setelah dikurangi utang sebesar Rp 2,9 miliar.

Kontributor Artikel

Artikel ini disusun oleh beberapa kontributor, termasuk Francisca Christy Rosana, Raden Putri Alpadillah Ginanjar, Ilona Estherina, Sukma Kanthi Nurani, dan Sapto Yunus.