Kisah Marsma Fajar Sebelum Kecelakaan Pesawat, Pernah Berduel dengan Pesawat Tempur AS

Featured Image

Peristiwa Jatuhnya Pesawat dan Kehilangan Marsma Fajar Adrianto

Pada hari Minggu (3 Agustus 2025), sebuah pesawat latih jenis Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 dengan registrasi PK-S126 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) mengalami kecelakaan di Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Dalam peristiwa tersebut, mantan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispen AU), Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fajar Adrianto, gugur. Ia ditemani oleh Roni sebagai co-pilot pesawat tersebut. Sayangnya, Marsma Fajar yang berada di depan sebagai pilot meninggal dunia, sedangkan Roni mengalami luka berat dan segera dirujuk ke rumah sakit.

Marsma Fajar Adrianto menjadi sorotan publik karena posisi dan pengalamannya sebagai perwira tinggi TNI AU. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman menerbangkan pesawat tempur F-16. Salah satu momen paling menonjol dalam kariernya adalah pada tahun 2003 ketika ia berhasil melewati ancaman rudal dari jet tempur F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) di Pulau Bawean.

Insiden Bawean: Perang Elektronik antara TNI AU dan US Navy

Pada 3 Juli 2003, Marsma Fajar bersama tim penerbang TNI AU menyergap lima unit pesawat F/A-18 Hornet milik US Navy yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin. Marsma Fajar menggunakan pesawat Falcon 1 TS-1603 bersama Kapten Ian, sementara dua pesawat F-16 lainnya dinaiki oleh Kapten Tonny dan Kapten Satriyo.

Selama operasi, kedua pesawat F-16 TNI AU melakukan perang elektronik dengan jet AS. Marsma Fajar mengungkapkan bahwa mereka terlebih dahulu dikunci oleh radar dan rudal AS. Namun, ia dan rekan-rekannya melakukan manuver tajam untuk melepaskan diri dari lock. Setelah 15 detik, mereka kemudian kembali mengunci pesawat AS.

“Kita pakai mode auto agar channel kita berganti-ganti jadi kalau lock kita di jam pindah channelnya gitu,” ujar Marsma Fajar. Meskipun pesawat AS lebih canggih, Marsma Fajar tetap memaksimalkan alat yang ada.

Saat bermanuver, Marsma Fajar mengungkapkan bahwa salah satu pesawat Falcon 2 diminta menjauh agar tidak terlihat dari pesawat AS. “Hornet hampir dua-duanya ngejar kita, ngejar saya. Bisanya kalau memang saling deket dan saling tembak, saya jadi korban tapi nanti dua ini ya ditembak juga sama yang Falcon 2 seperti gitu,” tambahnya.

Proses Identifikasi Tanpa Tembakan

Komandan Skadron saat itu, Letkol Penerbang Tatang Harlyansyah, memberikan perintah agar tidak boleh menembak. Tim penerbang TNI AU hanya melakukan identifikasi. “Artinya bukan enggak boleh nembak, jangan nembak duluan kan, kalau nembak duluan berarti dia yang mengatakan perang,” kata Marsma Fajar.

Akhirnya, pesawat TNI AU dan AS tidak saling menyerang. Lima pesawat AS lalu kembali ke kapal induk, sementara dua pesawat TNI AU berpatroli selama 30 menit. Marsma Fajar mengungkapkan bahwa pesawat AS merasa tidak melanggar wilayah Indonesia, namun Indonesia menyatakan bahwa kapal induk AS telah melewati teritori Indonesia tanpa izin.

Kontroversi Hukum dan Protokol Internasional

Permasalahan pesawat AS terjadi karena Kapal Induk AS melintasi Laut Jawa yang berada dalam teritori Indonesia. Berdasarkan UNCLOS 1982, ALKI adalah jalur pelayaran yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Namun, Amerika tidak meratifikasi konvensi tersebut, sehingga merasa laut internasional.

Falcon 2 melakukan rocking the wing sebagai tanda bahwa Falcon 1 tidak mengancam. “We are just identified we are not your enemy bilang gitu tapi Kapten Ian sambil rocking the wing,” ujar Marsma Fajar.

Reaksi Pemerintah Indonesia

Setelah peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia menyampaikan protes keras kepada Amerika Serikat melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Indonesia tidak ingin hubungan dengan AS menjadi buruk, tetapi juga tidak ingin AS mengabaikan kedaulatan Indonesia.

Riwayat Karier Marsma Fajar Adrianto

Marsma TNI (Purn) Fajar Adrianto lahir pada 20 Juni 1970. Ia lulus Akademi Angkatan Udara pada 1992 dan dikenal sebagai penerbang pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dengan callsign "Red Wolf". Fajar pernah menjabat Komandan Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi (2007–2010), Komandan Lanud Manuhua Biak (2017–2019), dan Kepala Dinas Penerangan TNI AU dari Mei 2019 hingga November 2020.

Ia juga dipercaya menjabat sebagai Kapoksahli Kodiklatau sejak Desember 2024. Atas dedikasinya, ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Sertifikat dan Brevet "Tanggap Tangkas Tangguh" dari BNPB, serta penghargaan tesis terbaik dari Universitas Pertahanan Indonesia.