Kisah Orang Rimba Jambi yang Berhasil Menabung dan Membeli Sapi

Kisah Orang Rimba Jambi yang Berhasil Menabung dan Membeli Sapi

Kehidupan di Tengah Kebun Sawit

Di tengah hamparan kebun sawit yang nyaris tak berujung, terdapat belasan sudung yang menjadi tempat tinggal bagi sejumlah warga Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Rejosari, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin. Sudung-sudung ini adalah pondok kayu sederhana dengan atap terpal, tanpa dinding, lantai, atau sekat. Lebih dari 60 jiwa SAD tinggal di sana, menggantungkan hidup pada kondisi yang sangat terbatas.

Mereka tidak hanya sekadar singgah, tetapi benar-benar tinggal di sana. Namun, masa depan mereka masih gelap. Mereka bisa saja dipaksa pergi jika pemilik kebun meminta, atau jika musibah terjadi dan tempat itu dianggap tidak "bersih" secara adat. Sudung-sudung ini menjadi tempat tidur, memasak, menyimpan pakaian, serta tempat membesarkan anak-anak.

Harapan yang Terus Dipeluk

Di antara warga tersebut, ada Gino (39), seorang lelaki bersahaja dengan suara pelan tapi mantap. Ia memiliki harapan besar untuk generasi masa depan orang rimba di sana. "Kami ingin anak-anak sekolah," katanya. "Tapi makan saja kami susah," tambahnya.

Gino tidak pernah berpangku tangan. Dari uang seribu hingga dua ribu rupiah yang ia kumpulkan setiap kali ada rezeki, ia menabung. Pelan-pelan, tabungan itu semakin banyak hingga cukup untuk membeli seekor sapi. Kini, dia sudah memiliki enam ekor sapi. "Saya beli sapi dari hasil ngumpulkan uang sedikit-sedikit. Kalau butuh uang, saya jual untuk makan anak-anak," ujarnya.

Pada Lebaran Idul Adha lalu, satu sapinya dijual demi menyambung hidup. Beternak bagi Gino bukan sekadar usaha; itu adalah strategi bertahan hidup. Cara untuk tidak sepenuhnya bergantung pada belas kasih orang lain.

Keterbatasan dan Kehidupan Harian

Sehari-hari, Gino dan warga lainnya memungut berondolan sawit dari kebun milik orang. Tapi itu pun tidak menentu. "Kadang dapat izin, kadang tidak. Kalau tidak boleh, ya kami tidak bisa apa-apa," katanya. Hasil dari berondolan sawit itulah yang mereka tukar dengan beras, garam, dan kebutuhan pokok lain. Namun, karena tidak stabil, hidup terus berada di batas tipis antara cukup dan tidak.

Atap terpal yang menjadi tempat tinggal mereka sering rusak akibat buah sawit yang jatuh dari atas. Akibatnya, terpal koyak, air hujan masuk, dan tidur tak lagi nyenyak. Sudung yang kecil harus menampung dua, tiga, bahkan lima orang. Anak-anak tidur berdesakan. Pakaian ditumpuk di sudut pondok. Tak ada lemari, tak ada ruang. Tapi di sudung-sudung itu juga, terlihat sepeda motor terparkir dan televisi kecil menyala. Ini tanda mereka sedang berusaha menyambung kehidupan modern dengan akar tradisi yang tersisa.

Layanan Kesehatan yang Masih Terbatas

Layanan kesehatan mulai menjangkau sudung-sudung SAD di Rejosari. Posyandu keliling datang, walau baru tiga kali dalam setahun. Meski demikian, penyakit tetap datang silih berganti: demam, batuk, pilek, hingga asam lambung. Istri Gino pernah sakit hingga harus dirawat. Dua tahun lalu, seorang warga meninggal karena tuberbulosis (TB) paru. Lainnya harus dirawat beberapa hari, tapi tak kunjung pulih.

Gino dan warga lainnya tetap berharap ada perhatian lebih. Tidak hanya datang sesekali, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan mereka yang rawan dan serba terbatas.

Identitas dan Keberadaan di Desa Rejosari

Meski hidup di tengah kebun orang, Gino merasa menjadi bagian dari desa. Ia aktif sebagai anggota Linmas (Perlindungan Masyarakat) Desa Rejosari. Dia mengikuti kegiatan, hadir dalam rapat, dan menyuarakan harapan. Pemerintah pernah menawarkan mereka tempat tinggal baru, permukiman yang lebih layak. Tapi Gino menolak. "Kami orang Rejosari. Kami warga di sini. Kami tidak mau pindah dari sini," ucapnya.

Bagi mereka, Rejosari adalah rumah. Bukan hanya tempat tinggal, tapi bagian dari jati diri. Di sanalah dulu mereka mencari rotan, mengumpulkan umbut, meramu tanaman obat. Kini, hutan sudah habis. Suku Anak Dalam pun terpaksa tinggal di tengah kebun, bertahan sebisa mungkin. "Sekarang mau meramu apa? Hutan sudah habis," tuturnya lirih.

Mimpi yang Masih Tertahan

Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang mereka terima. Tapi itu belum cukup. Anak-anak Gino ada yang sudah bersekolah, namun sebagian lain belum bisa melanjutkan pendidikan. "Ingin kami semua anak-anak sekolah. Tapi kami tidak ada dana," kata Gino. Dia masih memimpikan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana anak-anak dari sudung itu bisa sekolah tanpa harus menunggu hasil berondolan. Masa depan, di mana mereka bisa tinggal di rumah permanen, seperti warga desa lainnya.

Di balik keterbatasan, Gino menyimpan harapan yang tak bisa dibeli. Harapan untuk hidup lebih layak, di tanah yang mereka sebut rumah, dengan martabat Suku Anak Dalam yang seharusnya tak pernah ditawar.